Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merpati di Halaman Masjid

“Nanti kita beli kue seperti itu ya, Nak! Mau berapa satu atau dua.” Kutinggikan volume suara, agar terdengar oleh ibu-ibu yang berada di depanku. Tidak bergeming. Harapanku, mereka menoleh ke belakang. Mendengar rengekan anakku ingin memperoleh satu kue yang dihidangkan.  Namun, tangan mereka masih sibuk memasukkan bungkusan kue ke dalam tas yang ada dalam pangkuan.

Memintanya langsung aku tidak punya nyali.

Sampai pada piring terakhir, piring itu tidak juga bergeser ke belakang. Sementara anakku masih merengek, menginginkan kue yang satu per satu mulai mereka lahap.

###

Aku sengaja mengambil posisi duduk di belakang. Dekat pintu. Anakku, Safira keluar masuk ke toilet. Sekali-kali, ia melonggokkan kepalanya keluar jendela. Menghalau kejenuhannya dengan melihat beberapa merpati yang singgah di halaman Masjid.

Ini adalah pertama kalinya, aku ikut kajian di Masjid ini. Dari pamflet yang kubaca di persimpangan jalan. Ada seorang Ustadz dari kota. Aku semangat ingin mengambil ilmu dari sang ustadz.

Kualihkan perhatian Safira.

“Lihat sayang …! Ada berapa merpatinya?”

Merpati di halaman Masjid sekarang menarik perhatiannya. Merpati mengepak, mengundang temannya lebih banyak lagi, tak kala seorang anak lelaki seumuran Safira memberikan potongan kue bolu yang dihamburkan.

“Eight …!”

“Ada eight, ummi burungnya.”

“Iya sayang, hebat anak ummi!” Kuacungkan dua jempol kepada Safira.

“Coba Safira punya kuenya, Ummi. Safira akan kasih ke merpati. Jadi tambah banyak dech, merpati yang datang.” Anakku yang berumur empat tahun itu, seakan protes. Kenapa dia tidak dapat kue, sementara yang lain dapat? Aku berusaha untuk tidak baper. Barangkali, karena ibu-ibu tidak mengenalku. Aku menarik nafas, melepaskan sebongkah rasa iba di hati.

“Belum rejeki … kalau Allah sudah berkehendak, pasti akan tergerak hati ibu-ibu untuk memberikan kuenya kepada Safira. Tak apa ummi! Tak apa! Ingat niat datang ke Masjid untuk mendapat ilmu dari kajian. Jangan remas-remas hati dengan hal yang merusak niat.” Aku mencoba menasehati diri sendiri dan tetap berfikiran positif.

‘Ummi, kue …” sepertinya Safira terobsesi sekali dengan bungkusan kue. Ia menarik-narik ujung jilbabku. Mencium, memelukku. Kebiasaan yang ia lakukan untuk membujukku ketika ia menginginkan sesuatu.

“Nanti ya sayang, habis kajian ummi janji kita pergi ke toko kue.” Kini kuucap dengan suara pelan. Ingin kualihkan perhatiannya ke ponsel, namun ragu.

“Ini, makan kueku aja.” Sodor anak laki-laki yang seumuran dengan Safira.
Safira menatapku, meminta persetujuan. Lalu kepalanya dibenamkan dalam pelukan.

“Mi …” lenguhnya. Kuelus punggung mungil itu.

“Sabar ya sayang, bentar lagi acaranya selesai, kita ke toko kue ya!”

Sementara anak lelaki itu berlari kecil, menerobos deretan ibu-ibu yang duduk jaraknya dua syaf denganku. Menemui seorang ibu berjilbab abu-abu, yang duduk pada deretan syaf pertama.

“Ummi, boleh ya Azzam berbagi untuk adik itu! Adek itu ndak dapat kue, Ummi.” Anak lelaki yang bernama Azzam itu, menunjuk kearah kami. Spontan, ibu-ibu yang lainpun menoleh. Termasuk ibu-ibu yang memasukkan kue-kue ke dalam tasnya. Suara Azam sedikit keras sehingga terdengar banyak orang.

Aku tak sempat menangkap pandangan mereka. Aku sibuk menyembunyikan bagaimana perasaanku saat itu. Kualihkan pandangan ke merpati di halaman Masjid yang mulai berterbangan. Terhalau oleh jamaah yang mulai keluar satu persatu. Seketika, aku ingin seperti merpati di halaman Masjid. Pergi dan membawa terbang jauh perasaanku.


Merpati di halaman Masjid


Halamansekolah.com
Halamansekolah.com Seorang pembelajar, yang ketika merasa lelah, ia ingat bahwa hidup ini hanya untuk beribadah. Dan momen itu sebentar saja.

42 komentar untuk "Merpati di Halaman Masjid"

  1. Inspiratif sekali ceritanya, btw anaknya pintar sekali ummi. Banyak hal positif yang bisa dipetik dari cerita di atas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kak, semoga suka tulisan receh receh ummi.

      Hapus
  2. Selama baca cerita ini saya deg-degan dan geram. Ko bisa ya ada orang-orang seperti itu? Di daerah saya kalau ada kajian orang yang tidak di kenal justru di dekati biar betah dan bisa ikut kajian lagi. Aduh ceritanya bener-bener berhasil bikin saya baper. Tapi keren sih dek azzam inih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hanya oknum yang seperti itu kak, tenang alhamdulillah tidak semua. Banyak tempat kajian yang welcome kok sama peserta baru.

      Hapus
  3. Ya ampun adeeeekk. MasyaAllah. Kok terharu yaaa 💜💜 so inspiring mba. Sederhana, dekat dengan keseharian kita dan masih sering saya lihat kejadian begini..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mbak Jihan, terimakasih sudah berkenan membaca.

      Hapus
  4. Huhuhu ... Sediiih ... Syafira juga pengen kue. Memang sih, di manapun kita berada, sebaiknya kalau mau membawa pulang hidangan tuh ya nanti sewaktu acara sudah selesai. Dengan begitu kita tahu, memang ada sisa yang bisa kita bawa pulang. Ini kajian masih berlangsung kok ya sudah agresif banget mbungkusin kue. Gregetan, Ya Allah ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, oknum kak. Sebagian yang seperti itu. Beberapa ding. Banyak kok yang baik, di tempatku malah aku sampai dicariin jodoh. pas pertama kali datang dulu waktu ngajinya masih single. hahah

      Hapus
  5. Jadi gimana gitu bacanya. Entah siapa dan apa yang mesti dipersalahkan. Padahal niatnya untuk mengaji, tetapi ooo tetapi... Alhamdulillah ada Azzam yang memiliki kepedulian dan mau berempati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi. Suatu proses itu kadang sesak kakak. Ujian yang membuat kadang mundur atau terus melangkah untuk lebih tinggi.

      Hapus
  6. Cerita yang manis nan inspiratif. Bacanya enak banget langsung terbayang bagaimana keadaan di cerita tersebut. Menunggu cerita selanjutnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kakak. Kata kata kakak membuat ummi semangat untuk selalu menulis dan berbagi.

      Hapus
  7. Mba Linda kalo bikin cerita mesti ngena banget. Ga bertele-tele tapi tepat sasaran sebagaimana kejadian yang sering kita hadapi di sekitar kita (jadi inget cerita mak Marni. Sediiiih). Sy juga sering lihat ibu2 yang ngantongin kue2 begitu ke tas mereka. Mau negor takut digampar (emak2 ga pernah salah hehe) ga ditegor tapi belakangnya ga kebagian huhu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak Lintang, haduuh terharu saya mbak, terimakasih sudah mengenali cerita cerita di halamansekolah.online

      Hapus
  8. Sedih sekali kak.
    Klu saya berada pada posisi itu, saya juga akan mengalihkan perhatian anak saya. Ya, namanya juga anak2 klu ada makanan mereka ingin dibagi. Tp orang2 yang ada didepan itu pd g mikir ya... Klu ada yg g kebagian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meskipun kadang gak dimakan juga ya kak, rasa pengen seorang anak kadang begitu. Rasa pengen pada anak anak kalau yang memilikinya orang dewasa berbahaya 'kan?

      Hapus
  9. Aku betah banget bacara cerita ini dari awal sampai akhir. Sangat sangat menyentuh hati mbaaaaaa. Aku gak mau komentar soal ibu-ibu pelahap kue itu, soalnya itu sudah pemandangan umum yg sering kusaksikan di masjid-masjid kota. Aku salut bagaimana seorang anak kecil jauh lebih tulus ketimbang orang dewasa di sekitarnya. Masya Allah, ini bukan fiksi kan mba? Bagus sekali tulisannya.

    BalasHapus
  10. Terimakasih mbak. Huhuhu. Jujur aku makin terharu baca komentar mbak. Msya allah menyejukkan, membuat aku betah untuk produktif dalam menulis. Terimakasih mbak sudah suport.

    BalasHapus
  11. Kok sampai hati ya ibu² itu memperkenyang/memperpuas nafsunya sja. Padahal ada anak kecil disitu. Klau ke anak kecil saja mereka begitu, lantas bagaimana kepada seumurannya?😣

    BalasHapus
  12. Ini fiksi ya? Ngebayangin kalo ini kisah nyata dan aq ada di sana. Q towel2 pipi Azzam dan Safira krn pasti lucu hehe lanjutkan mb ceritanya..

    BalasHapus
  13. Cermin ini betul-betul membuat saya bisa mengimajinasikan semuanya. Tentang keadaan terpaksa, rasa segan dan rasa malu yang jadi satu. Kereeeen

    BalasHapus
  14. Kejadian spt itu pernah bbrp kali saya lihat saat pesta di Sumatra Utara, entah karakter entah oknum ya huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepertinya oknum ya kak, tergantung mindset kayaknya.

      Hapus
  15. Ikut kesel sama si ibu itu.... Mungkin yg dipikirkan makanan aja kali ya, gak ngerti banget kalo ada si kecil yg belum kebagian, huh !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huhuhu, semoga bukan kita yang seperti itu ya kak.

      Hapus
  16. cerita yg inspiratif bagaikan bumi dan langit disatu sisi ada kajian untuk pemurni jiwa disisi lain ada jiwa2 (para ibu yg sibuk.memasukkan.kue) yg tdk paham dengan makna dari ikut kajian ...tapi disitulah makna kajian sesungguhnya..terima kasih sudah berbagi..

    BalasHapus
  17. Persis seperti anakku, kalau sedang ada maunya dia ngerayu, mencium, memeluk dan terus seperti itu pada ibunya sebelum apa yang diinginkan dituruti.

    Cerita yg ispiratif banget nih mbak

    BalasHapus
  18. Waah banyak sekali hal yang bisa dipetik dalam cerita ini. Sungguh betapa sabarnya ibu safira ini.

    BalasHapus
  19. Balasan
    1. Betul mbak, patut jadi renungan dan menyentil hati yang keras.

      Hapus
  20. wah si azzam pintar berbagi ya, masyaallah. jadi malu ya mba karena anak kecil aja bisa sepintar itu berbagi, tapi yang lainnya malah, ah sudahlah hehe. makasih mba ceritanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anak kecil kadang menjadi cermin kebaikan yang sesungguhnya ya kak.

      Hapus
  21. Anak sekecil azzam saja sudah memiliki akhlak mulia, saya jadi malu sebagai individu yang sudah beranjak tua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayuu mbak, belajar selalu belajar menjadi lebih baik.

      Hapus
  22. Kenapa saya menjadi kesal dengan ibu-ibu yang menyembunyikan kue ke dalam tas ya. Ah, memang perasaan empati semakin hari semakin langka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kita tidak begitu ya mas Fadli. Selalu mengasah empati hendaknya.

      Hapus

Komentar yang baik akan kembali ke pemiliknya. Jadi, berkomentarlah yang baik saja.