Sumbangan yang Terdengar Sumbang
Daftar Isi
Sumbangan yang terdengar sumbang |
Mak
Marni kegirangan. Setelah ponsel bututnya berdering. Tak disangka, secepat itu
himbauan untuk mengambil sumbangan Corona dari pemerintah turun. Seminggu yang
lalu baru saja ia mengumpulkan KK dan fotokopi KTP.
Pada hari kamis, 7 Mei 2020 Pukul 11
siang, Mak Marni pergi diantar oleh anaknya ke kantor pos untuk mengambil.
Sayangnya, hujan jatuh seperti rimbang mengenai kepala. Membuat badan mak Mirna
menggigil. Kedua sisi giginya gemeretak menahan dingin.
Sesampai kantor pos, dilihatnya
orang-orang banyak yang mengantri. Satu antrian ke antrian berikutnya berjarak.
Banyak satpol PP disna. Polisi juga berjaga-jaga. Mak Marni enggan untuk masuk
dengan kondisi pakaian dan jilbab yang basah.
“Maaf Mak! Mak mau ngambil dana bantuan?”
tanya seorang satpol PP dengan ramahnya.
“Iyo Nak, tadi ditelepon katanya
disuruh ambil sumbangan corona dari pemerintah, tapi mak ndak enak mau masuk
baju basah gini.”
“Ada KTP dan foto kopi KK, Mak?”
“Bukan yang asli?”
“Fotokopi, Mak!”
“Foto kopi sudah dikumpul dengan RT,
ini saya bawa yang asli.”
“Mak, foto kopi dulu nanti kesini
lagi!”
Mak
Marni memeluk KKnya biar tidak basah. Dengan antusias, ia pergi untuk menyalin
KK aslinya. Biar tidak bolak balik ia merogoh uang 5000 rupiah, uang terakhir yang ia punya, untuk
memfoto kopi. Kabarnya tiga bulan berturut-turut ia akan menerima dana bantuan
itu. Alhamdulillah, dia tidak harus berfikir keras membayar kontrakan. Membayar
cicilan periuk. Membeli beras serta sekaleng kerupuk teman makannya.
Kaki mak Mirna terhenti dipintu kantor pos. Desiran AC menerpa tubuh
ringkihnya. Semakin bertambah menggigil tubuh itu. Pandangan dilemparkan ke
sekeliling. Terlalu banyak orang. Ia bingung. Ia menangkap pandangan kasihan
dari orang-orang. Wajar saja. Basah semuanya. Pandangan itu tulus adanya.
"Hati yang peka akan merasakan betapa ibanya bertukar tempat pada posisinya sekarang."
Untunglah, satpam yang baik menghampiri. Menanyakan perihal mak Marni. Sapaan
hangatnya menguatkan, tidak apa-apa, boleh kok masuk dengan kondisi mak Mirna
seperti itu.
Satpam yang baik hati itupun
mengantarkan mak Marni ke meja teller yang ditujukan.
“Mak, kok baru datang? Kelurahan Mak, gilirannya pagi tadi, lho?”
teller cantik itu mencari nama mak Marni di catatan yang disimpannya.
“Maaf, Nak! saya baru tau. Barusan dapat telepon katanya disuruh ambil
sumbangan sekarang.”
Teller membaca satu persatu nama-nam penerima sumbangan. Sementara mak
Marni mulai gelisah, ia mengendus ada sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.
Teller melihat lagi nama di KTP, Marniati ....
“Kok gak ada nama mak ya ?”
Kini Mak Marni ikut membaca nama-nama yang ada dicatatan teller. Benar
tidak ada namanya.
“Yang nyuruh kesini siapa mak?”
“Semprol, tadi dia habis ambil sumbangan terus telepon mak?”
“Gak ada mak?”
“Kalau mak gak ditelepon disuruh kesini, ya mana mak tau nak. Masak mak
datang sendiri kesini.”
“Gak disuruh dari RT mak?”
“Dari RT seminggu yang lalu disuruh kumpulin KK dan KTP, katanya untuk
dapat sumbangan corona dari pemerintah.”
“Oh … mungkin nama emak diganti dengan orang lain. Coba mak nanya dulu
ke RT siapa yang sudah ganti nama mak! Ya ….! Teller masih bersikap baik.
“Tanya dulu ya mak, sekarang mak ke RT dulu kami disini hanya bisa
memberi nama yang sudah ada. “
Perasaan mak Marni hancur. Sudah diaduk-aduk dilemparkan tinggi lalu mendarat
dalam keras. Dia ikhlas misal tidak dapat sumbangan, mungkin belum rejekinya.
Tetapi orang setua dia harus berkecipak di kucuran hujan. Menempuh jalan licin
dan berlumpur. Sayang sekali. Hasilnya uang sebanyak 600.000 itu bukan untuk
dia.
Apalagi setibanya dirumah ia harus membatalkan puasanya. Meminum
paracetamol, kepalanya mulai berdenyut karena tertimpa hujan.
“Mak, nanti tolong sampaikan ke Mulyo Selawase ya!” Di kelurahan emak,
hanya dia yang belum ambil dana sumbangan.” Permintaan teller sebelum mak Marni
meninggalkan ruangannya.
Mulyo Selawase, lelaki yang sepantaran anaknya itu bukankah keluarga
kaya? Punya mobil. Rumah permanen yang elok. Motornya? Jangan ditanya. Ah,
kenapa nama itu terdengar sumbang ditelinga mak Marni. Sekelas Mulyo Selawase
dapat bantuan. Lalu dia? Iba sekali hatinya, dilambungkan tinggi lalu
dihempaskan.
Mak Marni, mengambil nafas dalam–dalam. Lalu, menghembuskan berlahan. Tidak
apa, insyaallah ada rejeki. Toh, selama ini tidak ada bantuan, ia juga bisa
hidup.
Mak Marni masih bersyukur, dia merasa tidak sendiri. Dikelurahannya, ada
sebuah keluarga yang suami istri tidak dapat bekerja. Sang istri lumpuh dan
suami sakit-sakitan. Pun mereka tidak tersentuh sumbangan. Masih beruntung
Marni, biarkan ia miskin tetapi masih ada suami. Sementara, tetangganya harus berjuang mencari makan sendiri karena
suami kehilangan akal sehat. Pun, sama sekali tidak mendapat sumbangan.
Entah apa kriteria untuk memperoleh sumbangan? Ia tidak mau
memikirkannya lagi. Ia tidak ingin sakit. Membeli obat juga butuh duit. Dia
berusaha ikhlas dan hidup seperti biasanya.
Sementara, orang-orang ada yang merasa iba dengan mak Marni. Ada juga
yang bermulut seperti bagian belakang yang mengeluarkan bau.
“Ah, derita lho … itu namanya bukan rejeki. Aku juga gak minta dikasih
kok. Dapat ya Alhamdulillah, lah.”
Ada juga yang dengan entengnya memasang di status, “Alhamdulillah,
rejeki anak sholeh dapat sumbangan. Lumayan bisa beli baju lebaran.” Untungnya
mak Marni tidak bertandang ke media sosial jadi tidak pusing memikirkan kenapa
berkurangnya empati terhadap sesama di tengah corona ini.
Terlalu banyak Mak Marni di Indonesia ðŸ˜
Banyak Mak Marni di sekitar kita
Semoga kita semua sebagai tetangga diberi hati yang peka
Untuk tidak abai pada mereka yang membutuhkan
Sebaik apapun sebuah kebijakan selalu ada oknum, tapi banyak, yang merusaknya.
Contoh di atas sudah banyak terjadi, seharusnya yang benar-benar membutuhkan bantuan malah gak dapat, eh yang berkecukupan malah dapat... Sabar yaa, rezeki Allah itu luassss
Dulu bapak saya pernah dapat bantuan BLT tanpa pendataan. Bapak ngamul ngamuk: saya gak miskin kok dikasih.
Mulai rt hingga lurah ditegur bapak.
Bapak gak mau ambil BLT dilantor pos..sampai sampai dijemput petugas kelurahan utk ngambil