Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulasan tulisan “Aku Menyesal Menjadi PNS”


Awal bulan kedua program ODOP, aku dikejutkan dengan pencapaian respon terindah. Sampai kutulis ini ada 6.800 suka, 1400 lebih komentar dan 557 kali dibagikan, pada tulisan yang berjudul aku menyesal menjadi PNS. Di salah satu group menulis di facebook.

                Barangkali karena banyak yang respon, mengundang seorang owner salah satu penerbit untuk memberikan ulasan/ krisan. Tentu aku sangat exited. Disitu aku merasa bukan apa-apa, perlu banyak baca lagi dan mempelajari kaidah bahasa sesuai PUEBI.

                Krisan beliau aku posting lagi di sini agar tidak lupa dan bisa djadikan bahan bersama untuk belajar. Semangat!

Aku Menyesal Menjadi PNS

1.     Kesalahan yang pertama yaitu terlalu banyak “serangan Aku” pada kalimat.

Pada Paragraf 1
Namaku Laila. Aku seorang guru yang lulus CPNS tahun 2018. Aku salah satu yang beruntung dari 2.775 pelamar di Daerahku. Di lingkunganku, semua orang kagum, “Wah, hebat Laila, lulus murni. Alhamdullillah, aku melayang seketika.

Pangkas kata “aku” biar enak dibaca.

Revisi Paragraf 1

Namaku Laila, seorang guru yang lulus CPNS tahun 2018 dari 2.775 pelamar di daerahku. 

"Wah, hebat Laila, lulus murni." Melayang seketika saat mendengar pujian itu.
2.     Kalimat belum efektif
Pada paragraf 2
Sebenarnya, bukan karena kepintaran yang membuat aku lulus. Tetapi memang Allah yang berkehendak kalau tahun ini aku lulus. Sebelum memasukkan bahan CPNS, aku sudah mengedor-ngedor pintu langit di sepertiga malam. Prinsipku, kalau aku punya kemampuan yang biasa saja, relasi juga tidak ada, minta kepada Allahlah jalan keluarnya.


Kemudian aku mempelajari soal-soal yang banyak beredar. Satu lagi kuncinya, aku sengaja mendaftar di penghujung waktu, mencari sekolah yang sedikit pelamarnya. Ok, dapatlah sekolah yang baru satu pelamar, di dusun Batu Menangis. Di situlah keberuntunganku.
Revisi:
Kepintaran bukan yang membuat aku lulus tetapi Allah yang berkehendak. Sebelum memasukkan bahan CPNS, aku sudah mengedor-ngedor pintu langit di sepertiga malam. Jikalau, punya kemampuan yang biasa saja, relasi juga tidak ada, minta kepada Allahlah jalan keluarnya.

Kemudian, aku mempelajari soal-soal yang banyak beredar, mendaftar di penghujung waktu dan mencari sekolah yang sedikit pelamarnya. Ok, dapatlah sekolah yang baru satu pelamar, di dusun Batu Menangis. Di situlah keberuntunganku.

###

“Enak ya, Laila yang sudah PNS?” Tanya teman ngajarku di sekolah lama ketika kami bertemu di KKG Kabupaten. Aku hanya tersenyum. Pias.
“Alhamdullillah, Ra.” Aku tidak yakin dengan perkataan yang baru kusampaikan. Apakah aku bersyukur?
“Traktir dong, gaji pertamanya?” godanya.
(Dialog di bawah ini harusnya ditulis; "Boleh," jawabku seakan ....)

“Boleh,” Jawabku seakan aku bangga gajiku yang dulunya hanya 700.000,- sekarang naik empat kali lipatnya. Belum lagi tunjangan mengabdi di daerah terisolir. Dan tunjangan-tunjangan yang lainnya. Wah seharusnya aku bersyukur?
“Doakan tahun ini aku mengikuti jejakmu yang Laila.” (Silakan Anda baca kembali dialog ini, pasti Anda tahu ada yang keliru *yang* harusnya *ya* )
“Jangan!” reflek (Refleks, karena refleks bukan dialog tag, maka Anda harus menuliskannya dengan huruf awal kapital) aku menjawabnya. Kulihat kening Ratih mengernyit.
“Maksudku, semoga lulus tetapi bersainglah di sekolah yang sekiranya bisa dijangkau. Tidak sepertiku. aku harus melewati jalan berdebu, dengan kerikil tajam yang berserak ke sana ke mari selama musim kemarau. Jika hujan, jalanan berubah menjadi kubangan kerbau. Aku harus turun mendorong motorku. Berlahan, dengan sepatu kugantungkan di stang.” Akhirnya jebol juga keinginanku untuk tidak menggumbar cerita ke orang lain.”
“Jauh ya?”
“Empat jam dari kota.”
“Jadi Laila tinggal di dusun Batu Menangis?”
“Iya, Ra, terpaksa.”
“Tetapi orang-orangnya baik, ‘kan?”
“Baik, aku tinggal dengan salah satu nenek warga asli di sana. (Jangan dulu pakai titik karena kalimatnya belum tuntas, jika mau tetap pakai titik, maka *d* nya pakai huruf kapital, --> Di rumah panggung) di rumah panggung. (di sini, berilah tanda jika bukan titik, karena dengan tidak bisa ditulis di awal kalimat, dan ditulis dengan huruf kecil--> dengan) Dengan mandi di sungai dan posisi jamban di luar rumah. Bagiku itu tidak masalah sih, lama-lama akan terbiasa. (Pangkas semua serangan kata AKU)
“Sabar saja, nanti juga bisa pindah.”
“Menurut aku dan suami juga begitu, tetapi harus mengabdi 10 tahun dulu. Sekarang kabarnya sulit karena sistem online.”
“Dinikmatin aja lah, Laila. Ada beribu orang yang pengen mendapat apa yang menjadi posisimu sekarang. Coba berinvestasi kebun di sana, barangkali menyenangkan.”
“Yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, ya Ra? Dulu aku bersemangat sekali mau jadi PNS. Setiap doa, aku sisipkan. Sekarang aku merasa lebih baik honor saja seperti dulu.” Berkata seperti ini mendorong air mata jatuh, sekuat mungkin kutahan.
“Karena belum kerasan saja, nanti kamu lama-lama keenakan malah malas pulang.(,)” (k)Katanya coba menghiburku.

“Sepertinya tidak bakal kerasan, meski kubuat enjoy tetap saja perih. Karena anakku yang berumur belum genap dua tahun harus kutinggal dengan mamaku di Kabupaten. Kondisi di dusun tidak memungkinkan ia kubawa. Sementara pekerjaan suami juga mustahil ngikut aku di dusun. Anak pertamaku, sebelumnya kubawa sekolah di sana. Tetapi sepanjang jalan mau pergi ke sekolah kami harus berpapasan dengan kubu (kubu di sini jelaskan, karena ini artinya ambigu, takut pembaca salah artikan). Dia takut. Dan ikut nenek tinggal di Provinsi. Kami hanya bertemu sebulan sekali. Itupun jarang lengkap. Keluarga macam apa ini, Ra?” ceritaku sambil mengusap bulir bening di ujung netra.” (tanda " hapus)
“Sabar ya, Laila!” (D)diusapnya punggungku yang bergetar naik turun.
“Beruntung kamu, Ra. Meskipun honor dengan gaji 700.000an tetapi dapat berkumpul dengan anak, suami dan keluarga. Apa sebenarnya yang kita cari? Kalau kita terberai-berai seperti ini?”

Itu krisan beliau berdasarkan PUEBI.
Dari segi teknik menulis krisannya: Perhatikan baik-baik, bila kita ingin menulis sebuah cerpen/cermin/cerbung, maka harus ada unsur-unsur di bawah ini:
1.       Penokohan yang baik, benar, dan jelas, baik secara fisik, karakter, dan kebiasaan si tokoh utama. Terutama siapa si antagonis dan protagonisnya)
2.       Setting (Di sini Anda sudah menuliskan setting-nya, di Batu Menangis dan Kabupaten, lebih enak jika dijelaskan lebih rinci, misalnya provinsi mana, dan sebagainya.)
3.       Alur cerita, apakah mau pakai alur datar, alur bola salju, alur rumah hantu, alur segilima, dsb.
4.       Opening, narasi dan ending yang ditulis secara apik.
5.       Menulis dialog tag dan dialog narasi dengan benar. Jangan sampai terbalik.
6.       Kalimat dibuat secara efektif berdasarkan pola SPOK. Di bangku SD kita pernah belajar ini
7.       Konflik
8.       Hikmah cerita
Pesan beliau, teruslah menulis tanpa mengabaikan kaidah-kaidah penulisan yang baik dan benar. Sayang sekali jika potensi Anda yang hebat itu bila tidak diasah.
Dengan krisan ini, membuat saya merasa diperhatikan, dilirik. Jadi semangat banyak belajar penulisan, kaidah-kaidahnya. Bekerja keras lagi. Kalau sekarang owner tersebut mengkrisan, semoga kelak melamar karya kita. Aamiin.
Halamansekolah.com
Halamansekolah.com Seorang pembelajar, yang ketika merasa lelah, ia ingat bahwa hidup ini hanya untuk beribadah. Dan momen itu sebentar saja.

8 komentar untuk "Ulasan tulisan “Aku Menyesal Menjadi PNS”"

  1. Tetap Mbak Linda juara bagiku. Tulisannya selalu enak dibaca. Semangat Mbak....

    BalasHapus
  2. Keren ... Aku kepengen dikasih masukan begitu ditulisan-tulisan ku
    Semangat mbak, selangkah menuju penerbit 🥰

    BalasHapus
  3. Pengen juga dapet krisan seperti itu ditulisanku kak.

    kakak semangat terus ya💪

    BalasHapus
  4. wah mantap ... saya juga senang kalau dikasih masukan ...

    BalasHapus

Komentar yang baik akan kembali ke pemiliknya. Jadi, berkomentarlah yang baik saja.