Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ukhti, Jilbabku


Aku berdiri di depan cermin mengamati wajahku, sekarang terasa ada yang berbeda wajah cantik ini dihiasi jilbab yang ukurannya terlalu singkat. Jilbab tak lagi bekerja sebagai fungsinya menutup aurat.

 Suara dering handphone menyadarkanku dari lamunan.

“Ukhti, jadi ikut kajian gak? Nanti ana tunggu di Simpang lampu merah, jangan telat ya. Jam 8 sudah disana.” Kata Eka sahabatku.

Kembali lagi pada wajahku dalam cermin. “Pergi atau tidak? Apa pantas? Kalau menimbulkan fitnah?” hatiku bergejolak. Jilbabku singkat, sepertinya semuanya tak pantas terlihat.

Kemudian, kualihkan pandangan ke lemariku. Teringat koleksi gamis. Gamis yang kupakai satu tahun lalu dan jilbab sempurna yang berkibar itu. Kalau kuganti busana ini. Mereka akan bilang “ lihat itu badan boleh tertutup semua, berboncengan mau juga! itukan yang berboncengan dengan si Abel.” 

Tiba-tiba rasa sakit menjalar, bodohnya aku, berpacaran adalah yang membuat begini. Hina dihadapan makluk Allah, terlebih lebih dihadapan Allah. Cukup sekali.

”Ukhi, Tapi gimana ya? aku sebenarnya . . . malu!. Apa kata teman anti nanti disana?” tanyaku ragu.

”Jangan seperti itu, semua orang pernah khilaf. Jangan gara-gara hal itu membuat kita malah semakin jauh dari Allah, jauh dari ilmu yang bisa mendekatkan kita kepada Allah, sepatutnya kita hanya malu pada Allah, malu kalau kita tidak menuntut ilmu syari’i. Ayolah ukhti! kenapa meski malu dan terkukung untuk menimba ilmu gara-gara yang lalu, yang terpenting ukhti berniat tidak akan mengulanginya lagi.”

“ Tapikan beda, Ukh? Aku terlalu plin plan, kalau orang bertaubat itu dari buruk ke baik, lha, aku dari buruk ke baik, lalu buruk, lebih buruk mungkin, lalu sekarang pengen baik lagi.” jawabku sedih.

“Itulah kenapa kita perlu datang ke Majelis ilmu ukh, kerasnya hati akan berkurang, asal kita ikhlas jalaninya, insyaallah istiqomah akan kita raih. Allah tidak melihat oooh si Fulanah itu begini dan si Fulanah itu begitu, tapi Allah melihat proses dari si Fulanah sehingga jadi begini atau begitu.” urainya panjang lebar.

Nyesss

Hatiku terasa sejuk. Kepercayaan yang diberikan Eka menarikku dari keputusasaan, menghilangkan purbasangka dan rasa was was. Ah, Eka begitu manis, jadi pendengar yang baik tanpa memvonis, mengajak dengan bijak, menguatkan dengan rasa tentram. Diluar hujan mulai menetes, butirannya tak terhingga jatuh ke bumi, begitu juga di pipiku. Terharu, menyesal dan entah apalagi yang jelas membentuk sebuah abrasi.

“Cepetan Ukhti, ana sudah di Bundaran!”

“Disini Hujan”. Jawabku tersadar.

“Disini juga, gak papalah, bawa payung!”katanya. Lalu, aku teringat dengan jilbabku.

 “Ukhti Jilbabku?’.

“ Nah, ukhti sebenarnya sudah tau apa yang harus perbuat, dan pasti bisa menyikapi.”

”Cepetan ya! Assalamu’alaikum.” Telephone pun terputus.

Bumi masih basah karena hujan-Nya tapi sesaat lagi awan hitam seusai waktu kan kembali biru. Aku dan Eka berlari kecil memasuki Masjid, sepertinya kami sedikit terlambat.

***
Beri aku berkali-kali kesempatan
Berkali-kali aku seperti ini
Mengalir kali hitam pada jiwa dan pikiran
Tak cukup sekali aku menangis
Karena iman berkali menipis

Andai aku tau akhir hidupku
Seperti hitungan kali. Pasti
Tentu aku menyiapi kali mana
Aku mati
Dengan hitungan perkalian sepertiku SD

Kali ini
”Ukhti, Jilbabku?”
Semoga, sama dengan taqwa kepada Allah.


Halamansekolah.com
Halamansekolah.com Seorang pembelajar, yang ketika merasa lelah, ia ingat bahwa hidup ini hanya untuk beribadah. Dan momen itu sebentar saja.

Posting Komentar untuk "Ukhti, Jilbabku"