Aruni
terlihat terges-gesa memparkir sepedah motor di kantor Dinas Pendidikan. menelusuri
ruang-ruang, mencari tempat yang ia tuju. Sesekali ia pandangi jam tangan, 30
menit lagi ada kelas. Aruni adalah seorang guru honorer yang mengajar di SD
Negeri. Saking fokusnya memperhatikan jam tangan, ia tidak menyadari, seseorang
telah tertabrak. Bak di film India. Berkas yang ada di map biru itu berjatuhan.
“Maaf,
Pak! Maaf.” Aruni mencoba memungut lembaran berkas yang jatuh. Ketika kepalanya
mendongkak ke atas. Dahinya mengernyit penuh tanya. Sepertinya ia mengenal
orang yang ada di depannya.
“Aruni?
Ngapain kamu di sini?” perasaan Aruni naik turun, sepertinya lelaki itu
mengenalnya. Ia ingin menjabat tangan, tetapi urung ia lakukan. Ia sungguh
sukar mengingat nama orang. Tidak enak kalau menyebut nama yang salah. Tetapi
dari pandangan hangat lelaki itu, ia tahu telah pernah mengenalnya lama.
“Oh,
ini mau ngurus surat pindah anak?”
“Anak?”
“Kamu
sudah punya anak toh, kok tidak ngundang-ngundang?”
“Bukan!
Ini siswaku mau pindah, tetapi orang tuanya minta tolong uruskan.”
“Baik
sekali kamu, hayo kuantarkan.” Arunipun berjalan mengiringi lelaki yang
akhirnya dia tahu, ia adalah teman satu kelasnya waktu SD dulu. Namanya Azel.
Ia bekerja di lingkungan Dinas Pendidikan
###
Atas
bantuan Azel, Aruni dapat mengurus surat pindah dalam waktu kurang dari 10
menit. Bukan Aruni namanya kalau dia tidak serba buru-buru. Setelah mendapat
kehendaknya iapun buru-buru undur diri, padahal Azel ingin mengajaknya sarapan.
“Masih
ada kelas, takut anak-anak berantem nanti. “Ah, Aruni. Cukuplah Azel yang tahu,
kalau dia begitu memaksakan hatinya untuk bersabar bertemu kembali.
Dengan
motor scopynya, Aruni menelusuri jalan menuju sekolah, sebelum akhirnya ia
memutuskan untuk ke Travel mengirimkan surat pindah. Ia takut siang malam
gawainya digedor-gedor dengan wali murid seperti sebelumnya.
[Bu,
tolong bu! uruskan surat pindah Dinda, kami sedang di Jambi.] pesan dengan
bahasa hampir sama berkali-kali ia kirimkan lewat Whatapps-nya. Arunipun
meleleh ketika ia tahu kalau mama mertuanya wali murid sedang sakit keras.
[Nanti
semua biaya ngurus surat pindahnya saya transfer, Bu.” Ini adalah angin segar
toh, biayanya akan diganti. Pikir Aruni waktu itu. Di saku seragamnya hanya ada
uang berwarna biru. Dia gulung kecil. Sebagai honorer, dia harus pintar
berhemat kalau tidak tergerus gaya. Dia baru gajian tiga bulan sekali
dibayarkan di bulan ke empat. Uang yang dihemat-hematkan itu akhirnya berpindah
tangan.
“28
ribu, Bu! Jawab kasir travel. Aruni
serahkan uang selembar itu. Di saku seragamnya kini hanya tinggal 22 ribu.
Prediksinya motor minyaknya akan habis. Bunyi di perutnya tidaklah ia hiraukan.
Dengan tenaga yang tersisa ia bergegas ke sekolah, menuntaskan jam mengajarnya
pada hari itu.
###
Aruni
sibuk membuka gawainya, ia kirimkan pesan kalau jam lima sore, surat pindah
anak sudah bisa di ambil di loket. Beberapa detik kemudian, pesannya centrang
biru. Sudah diread. Tetapi tidak mendapat balasan. Aruni berfikir positif,
barangkali Bu wali murid sibuk mengurus mamanya yang sedang sakit.
Menjelang
malam, Aruni mengirim pesan lagi. [Apakah sudah di terima surat pindahnya?]
hasilnya sama saja hanya diread. Tidak dibalas. Hari kedua. Hari ketiga. Hari
keempat sampai sudah satu minggu pesan Aruni tidak satupun yang dibalas.
Berbeda ketika hendak meminta tolong dulu. Pagi, siang, sore bahkan tengah
malam, wali murid sibuk mengirim pesan dan menelpon.
Hati
Aruni gerimis, seperti inikah nasib seorang guru honorer. Dimana kehadiran dan
perbuatannya dianggap sepele. Tetapi buru-buru ia tata hati. Iklaskan Aruni,
Ikhlaskan semoga Allah ganti yang lebih baik. Eh, bukankah mengurus surat
pindah itu membuat takdir mempertemukan ia dengan teman lama. Teman yang
mempunyai mata hangat, yang membuat wajah Aruni merah merona karena malu.
Itulah barangkali salah satu keuntungannya. Tetap saja Aruni mengingat selembar
uang di saku seragamnya yang lepas. Uang itu bisa untuk sarapan lontong, sepuluh
kali, plus satu buah bakwan yang masih hangat.
nasibnya guru honorer ya...saya juga merasakanya..
BalasHapusIkhlas memang bukan perkara mudah.
BalasHapusHiks sedih, semoga dapat ganti yang lebih baik.
BalasHapusSalam dari asrama Nottingham
Sedih ya, tapi kalau terus dirasa bikin hati makin tersayat.
BalasHapusSalam kenal dari Nottingham.