Mak
Ipah terlihat mengelap suaminya dengan kain basah. Dari ujung kaki sampai ke
rambut yang berwarna putih. Sesekali suami mak Ipak, Sobirin menekukkan
kakinya, bersandar pada dinding kayu yang keropos. Sudah hampir dua purnama, tubuh
ringkih itu hanya dapat berbaring dan duduk bersandar. Separuh badannya kaku.
Selesai mengelap badan, mak Ipah juga
mengelap bekas suaminya berbaring dengan telaten. Dikumpulkan alas kain dalam
satu wadah. Bau pesing menyeruak. Digantinya dengan yang baru. ia menuruni
tangga rumah panggungnya dengan hati-hati. Ketika hendak membawa sebaskom kain
kotor ke sumur, ia dapati pak RT dan seorang perempuan setengah baya
menggunakan seragam rapi.
“Nak, kemano, Lup?” Tanya mak Ipah.
“Nak silahturahmi, Mak.”
“Ayolah, naik ke atas.” Mak Ipah,
mengelap kedua tanganya menggunakan kain lusuh yang ia kenakan sebelum menjabat
kedua tamunya. Berjalan merunduk, menaiki tangga.
“Ado program bedah rumah, Mak. Saya merasa
mak layak mendapatkannya.” Pak RT menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Setelah menggumpulkan KTP dan KK
mereka berdua pamit, hendak jalan ke tempat warga yang lain.
Mak Ipah terharu merasa
diperhatikan. Angannya langsung berlari ke acara bedah rumah yang pernah dia
lihat di TV. Dalam waktu semalam rumah reot, disulap menjadi rumah permanen
idaman. Bersih, rapi, plus dengan isinya.
Kata
pak RT, dia akan menerima sebanyak 17.500.000,- untuk membedah rumahnya. Sebanyak
apa pula uang sejumlah itu. Seumur-umur dia belum pernah menyentuh uang puluhan
juta.
“Mak,
minum!” pinta pak Sobirin. Seketika lamunan mak Ipah berhamburan. Bergegas dia
ambilkan minum untuk sang suami.
###
Tangan
mak Ipah bergetar menandatangani surat serah terima dana bedah rumah. Gores pena
menunjukan huruf S, diambil dari namanya Saripah. Itupun sudah diajari
berulangkali oleh perangkat dusun.
“Mak,
nanti uangnya sebanyak 17.500.000,- ya! 15 juta untuk material, nanti langsung
mak terima. 2,5 juta untuk ongkos pembangunan.” Diterimanya uang sebanyak 2,5
juta.
Esoknya,
material bangunan seharga 15 juta datang berangsur-angsur. Batu bata, pasir,
besi, semen, kayu dan seng. Material di taruh sebelah kanan rumah panggungnya. Ditutup
menggunakan terpal supaya tidak basah.
Pak
Sobirin mengamati dari jendela rumah mereka. Hatinya gerimis, berpuluh tahun
menikah dengan istrinya belum bisa memberi kehidupan layak. Rumah tinggal yang
nyaman. Bukan seperti sekarang, ketika angin
datang, rumah panggung mereka ikut bergoyang. Merinding. Atau ketika petir bergemuruh, cahaya kilatan
begitu ketara dari celah-celah papan yang tidak tertutup sempurna, membuat hati
ciut.
Bahkan
pada kondisinya yang sekarang, ia hanya menjadi beban. Tidak bisa mencari
nafkah. Hatinya iba, setiap hari menyaksikan istrinya berpacu dengan usia
menanam sayuran yang hasilnya tidak seberapa.
Ah,
butiran harus menggenang di pojok netranya.
###
Para
pekerja mulai datang. Seharusnya bedah rumah dilakukan secara swadaya. Tetapi apa
hendak dikata, di mana gotong royong jarang lagi dijumpa. Orang-orang pada
sibuk sendiri, memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Sementara pekerjaan
susah didapat. Lagi pula, pak Sobirin, tidak pernah ikut serta bergotong
royong. Tubuh ringkihnya tidak mampu berdiri menolong.
Ada
dua pekerja yang disewa mak Ipah. Seorang kepala tukang dan kernek. Kepala tukang
dengan upah lebih tinggi 130.000 per hari. Sementara kernek hanya mengantongi
100.000 per hari. Mak ipah tidak sempat ke huma, sebab mengurusi tukang yang
membangun rumahnya. Memasak untuk makan siang. Membelikan rokok dan menunggu
tukang galon air untuk minum pak tukang. Ini lebih melelahkan daripada berhuma
seharian.
Pondasi
dibangun tepat di depan rumah panggung mak Ipah. Rencananya rumah panggungnya
sekarang bisa dijadikan dapur. Sudah seminggu para tukang bekerja. Mak Ipah
hatinya mulai gundah gulana, sebab uang yang ia pegang sekarang sudah tidak
ada. Habis. Ia meminta maaf akhirnya, sang tukang diberhentikan dulu bekerja.
Berat.
Tidak
seperti bedah rumah di TV, semalam rumah reot menjadi cantik dan asri.
“Sudah
terlanjur,” pikirnya. Ia pandangi cincin yang melingkar di jari, ia berniat
menjualnya.
“700.000,-
Mak!” kata penjual emas.
“Coba
periksa lagi, tidak bisa nambah.” Jawabnya perih. Itu adalah cincin mahar dari
sang suami.
“Maaf,
mak. Ini gram-graman.” Mak Ipah urung menjual cincinnya. Percuma. Tidak akan
cukup untuk membangun rumahnya. Kemudian ia memberanikan diri ke kantor kepala
dusun. Menggungkapkan masalahnya.
“Oh,
ndak bisa, Mak! Harus selesai dalam satu bulan. Coba minta bantuan tetangga.”
“Bergotong
royong juga memberi makan, Lup! Mak lah di do sen lagi.” Jawabnya bergetar.
“Gimana
ya, Mak! Kami sebatas menyarankan dan kerja. Jadi ndak biso bantu.” Jawab perangkat
desa dengan suara sendu.
“Jadi,
solusinyo gimano?”
“Maaf,
Mak! Kalau tidak selesai, biasanya material yang sudah diberi ditarik lagi.” Mak
Ipah tidak bisa berkata-kata. Dalam hati hanya berujar, sudahlah memang bukan
rejekinya.
Beberapa
minggu kemudian, mobil terdengar berisik mengangkut material bangunan mak Ipah
yang tersisa. Rumah permanen idaman hanya tinggal mimpi belaka. Hanya ada
pondasi dengan dua tiang besi. Entah kapan rumah idaman mak Ipah berdiri?
Ceritanya sedih 😢
BalasHapusiya Dek, ini real story
HapusSelalu suka dengan tulisannya kk...💚
BalasHapusTerimakasih Dek.
HapusSabar Mak Ipah😢
BalasHapusYes, mbak
HapusMak ipah oh mak ipah
BalasHapusiye mak
HapusPesan moralnya keren
BalasHapusKehidupan mak ipah gambaran orang yang berjuang untuk hidup. Moga mak ipah tetap semangat^^
BalasHapushmmmm
HapusSedih aku mbak. Hebat mba, ceritanya membangkitkan kesedihan.
BalasHapushihihi, Terimakasih mbak.
HapusTerhatu mb ,smoga rumah mak ipah bisa terwujud
BalasHapusTypo ya, kirain hatu. hihihi
BalasHapusKeren ...
BalasHapusjahat bgt sih ini pemerintah, mau bantu tapi caranya ga baik. menurutku jangan hanya bertengger kisah di sini mbak. coba suarakan ke media masa atau ke lembaga yang terkait, org mau bantu ga ngert caranya kan g pinter
BalasHapus