Putri Tangguk Dengan Serbuk Kebaikan
Daftar Isi
Di Negeri Bunga, di Kecamatan danau
Kerinci Jambi, terkenallah seorang wanita yang suka bekerja keras. Ia menggarap
sawah yang sebesar tangguk. Dari ayam mulai berkokok ia terlihat di sawahnya, menuai
padi. Ia baru akan beranjak pulang seiring matahari yang mulai tenggelam.
Dengan susah payah, karung-karung
berisi padi itu dibawa ke dalam gerobak. Putri tangguk menolong sang suami
mendorong dari sebelah sisi kanan gerobak. Tamaram malam membuat mereka harus
berhati-hati untuk tetap konsentrasi berjalan di pematang sawah.
Sesampai di rumah, padi-padi itu
mereka pindahkan kedalam lumbung padi. Beberapa diletakkan di atas paha perapian untuk dijadikan bibit.
Belum selesai semua padi dipindahkan, putri tangguk sudah dibuat gerah dengan
rengekan ketujuh anaknya.
“Amaak,
lapar!” rengek si bungsu
“Iya, sebentar lihat amak lagi sibuk, main dulu sana!” kata
putri tangguk membujuk.
Si bungsu, masih merengek, sambil
sesekali menarik kain amaknya yang
sudah luruh. Ditarik sedikit saja kain itu sobek. Naiklah emosi putri tangguk.
“Sana!” didorongnya badan si bungsu
yang kelihatan tidak terurus itu. Merasa tidak berhasil membujuk sang amak. Si bungsu menangis menghampiri
sang abak, yang sedang menutup pintu
kadang ayam di bawah rumah panggung mereka.
“Abaaak!”
ia usap airmata yang sudah bercampur ingus di atas bibirnya. Melihat itu iba
hati sang abak. Digendongnya si bungsu.
“Sudah… sudah! Sebentar lagi amakmu selesai, nanti kita makan bersama
ya!” mengalihkan perhatian si bungsu, diajaknya melihat cicak di dinding.
Sementara, Putri Tangguk bergegas
untuk menanak nasi. Diambilnya daun kelapa kering untuk menghidupkan api.
Sesekali ia meniup menggunakan potongan bambu. Mendapat tiupan, abu di sekitar
tungku berembus ke dinding, ke rambutnya juga mengenai matanya. Ia gosok mata
yang mulai merah karena asap. Rasa lelah yang mendera, membuat dia mendorong
kayu ke dalam tungku secara kasar.
“Huh! Kenapa juga api ini susah
hidup!” dia berbicara dengan diri sendiri
Ia coba tak hiraukan suara tangis
anak-anaknya. ia topang dagunya dengan kedua tangan.
“Kenapa, hidup seperti ini? Pergi ke
sawah saat gelap, pulang juga sudah gelap? sampai di rumah harus menanak nasi? Mengurus
ketujuh anak?" Ia lemparkan pandangan ke piring kotor di sudut dapur, baunya menyeruak.
Sisa makanan kemarin malam belum sempat ia cuci. Ia merasa sangat malas, untuk
mencuci piring, ia harus menuruni anak tangga, rumah panggung mereka. Dingin
yang menusuk tulang, menggagalkan kemauan untuk mencuci.
“Biarlah, masa’ bodo.” Pikirnya.
Putri Tangguk beralih memandangi api
yang menyala, hawa panas yang menyentuh muka, tak ia rasakan. Hatinya lelah,
sebongkah rasa yang bergelayut di hatinya membuat sesak, dan memaksa buliran
bening jatuh di pinggir matanya yang bulat.
“Hei, kenapa kamu bersedih, Putri
Tangguk?” tiba-tiba asap yang terbentuk dari tetesan nasi yang mendidih
membentuk seseorang wanita yang bertanya kepada putri Tangguk.
“Kau siapa?”
“Aku temanmu.” Putri tangguk
bingung, sejak kapan ia punya teman. Ia terlalu sibuk bekerja keras di sawah,
tidak sempat bersosialisasi.
“Aku, padi yang kau rawat dengan kasih
sayang dan kau sajikan untuk keluargamu.”
“Benarkah? Kalau begitu kau tahu aku
sangat lelah.”
“Kalau kau mau, dengarkan aku! Bersyukurlah
tentang apa yang bisa kau kerjakan sekarang. Kau diberikan kesehatan sehingga
bisa melakukannya? Lihat, betapa banyak orang mau melakukan, tetapi sayang,
sakit membuat kesempatan itu hilang.”
“Aku lelah, kau tahu aku lelah!”
putri Tangguk mengeraskan suaranya, sesekali mengusap butiran bening yang
terlanjur jatuh.
“Aku harus merawat sawahku yang sebesar
tangguk, merawat ke tujuh anak-anakku, melayani suamiku. Itu membuat aku sangat
lelah dan tertekan, seandainya kematian boleh dipinta, aku memilih pergi untuk
mati saja.
“Ssst, coba sesekali dengarkan
cerita dari penjuru barat, di sana ada seorang putri. Bernama Candlelela, ia
harus keluar rumah sampai jam dua belas malam hanya untuk berjuang menemukan
pangerannya. Sedangkan engkau, engkau sudah mempunyai suami yang baik dan
penurut. Tidak kah kau merasa beruntung?”
Putri tangguk berfikir sejenak.
benar. Suaminya tidak pernah neko-neko dan baik kepadanya.
“Kalau kau berjalan kearah timur,
engkau akan mendengar cerita. Ada seorang ibu dari Temumas, yang harus
berurusan dengan raksasa jahat untuk memperoleh seorang anak. Sedangkan engkau,
bukan saja seorang tetapi diberi tujuh anak yang baik. Tidakkah kau bersyukur?
Kalau itu belum cukup, coba curi cerita dari Maling Udang, seorang anak yang
durhaka kepada ibunya. Apakah anak-anakmu pernah membantahmu? Apalagi durhaka?”
“Tidak!”
“Lalu kenapa engkau seperti ini?”
“Aku hanya. . .” belum selesai Putri
Tangguk bercerita, temannya bicara sudah memudar, hilang.
Kletek. Kletek
Nasi yang ditanak sudah mengering, itu tandanya ia bisa
mengajak anak-anak dan suaminya makan. Ia usap air mata yang tersisa. Berusaha
memanggil suaminya. Merasa tidak dapat sahutan, ia hampiri suami dan anak-anak
di ruang tengah.
Terlihat, suaminya tertidur di sebelah si bungsu. Si bungsu sesekali
mengeliat dan mengigau “Amak, aku lapar!” Mendengar itu meneteslah air mata
Putri Tangguk semakin deras.
“Aku sudah lalai.” batinnya.
Ia hanya dapati, si Sulung yang masih terjaga.
“Makanlah, Nak!”
“Iya, Mak! Sebentar.” Si Sulung terlihat memijit kuduknya,
disertai suara angin yang keluar.
Eeegh. Eeegh.
Putri tangguk menolong memijit kuduk
dan punggung si Sulung.
“Kenapa tadi tidak menanak nasi
sendiri? Jadi masuk angin ‘kan? Terlambat makan.”
“ Si Bungsu rewel seharian, Mak!
Memanggil amak terus, tak bisa ditinggal.”
Uh, lagi-lagi hati Putri Tangguk
terasa diremas-remas.
###
Sore itu, putri Tangguk merasa
tenang, tidak ada rasa tertekan lagi. Dia sekarang sudah dibebaskan dari
mengurus sawah yang sebesar tangguk, bebas dari merawat ketujuh anaknya dan
melayani suaminya. Dia bisa berkelana kemana saja seperti yang ia suka. Tanpa
beban. Ia pun memutuskan pergi ke arah Barat. Memastikan cerita candlelela,
lalu pergi ke arah timur. Ke sana ke mari membuatnya jenuh, akhirnya dia
memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Rindu dengan anak-anak.
Sesampai di depan rumah, betapa
terkejutnya ia. Ada seorang perempuan, seusianya sedang bercengkraman dengan ke
tujuh anak dan suaminya. Si bungsu, terlihat merebahkan kepala ke pundak
perempuan itu. Digoyang ke kanan ke kiri, membuat anak itu tertidur. Anak-anaknya
terlihat saling kejar-kejaran, sesekali tertawa lepas. Sementara, suaminya
tersenyum melihat tingkah polah anak-anaknya. Senyum yang tidak pernah ia lihat
selama ini.
Ada rasa cemburu yang
menggedor-gedor hatinya. Memaksa tetes bening keluar. Nafasnya naik turun.
Matanya memandang tajam penuh kemarahan. Baru saja ia akan berlari menemui
suami dan anak-anaknya. Tiba-tiba, ada seseorang yang menyentuh pundaknya,
mengusap-ngusap. Ia menoleh, oh seorang perempuan yang katanya teman itu muncul
lagi.
“Siapa dia?” Tanya putri Tangguk
“Siapa?”
“Perempuan itu.” Sambil menunjuk
seseorang yang bersama suaminya.
“Putri Tangguk.”
“Putri Tangguk? Mana mungkin, kau
lupa? Akulah yang bernama Putri Tangguk.”
“Tapi, kau lelah, kau tertekan, kau
tidak mau lagi mengurus sawah yang sebesar tangguk, tidak mau lagi merawat anak-anakmu,
tidak mau lagi melayani suamimu? Bukankah Putri Tangguk itu seseorang pekerja
keras yang mengurus sawah sebesar tangguk? Sehingga ia mendapat gelar putri
Tangguk.” jawab perempuan itu sinis.
“Kau bohong!” hati Putri Tangguk panas.
“Terserah, perempuan itu sekarang yang mengganti posisimu.
Dialah Putri Tangguk. Sesuai permintaanmu, kau dibebas tugaskan. Kau yang
berkata memilih mati.”
“Tidaaak!!!” Putri tangguk menutup mukanya dengan tangan,
menangis, tersungkur di atas tanah.
“Jadi aku sudah mati?” ia menoleh, meminta penjelasan
“Sesuai permintaanmu.”
“Bukan itu maksudku, tolong! Aku masih ingin bersama
anak-anak dan suamiku.”
“Entahlah, salah kalau meminta tolong kepadaku.”
“Beri aku arahan, bagaimana memperbaiki semua!” Putri
Tangguk memegang tangan perempuan itu, mengguncang-guncang badannya, meminta
belas kasih.
“Baiklah, ini ada serbuk kebaikan.” Perempuan itu
mengeluarkan sekantong serbuk kebaikan dari balik selendangnya, lalu memberikan
ke genggaman Putri Tangguk.
“Serbuk ini akan bertambah jika engkau bersyukur dan
sebaliknya berkurang kalau kau mengeluh. Kau bisa berjanji dan terima
konsekwensinya.” Putri Tangguk mengangguk paham.
“Dan satu lagi, supaya kau senantiasa bersyukur, bersujudlah
kepada Rabb sebanyak lima kali sehari. Hatimu akan tenang.”
“Baiklah, terimakasih banyak.”
“Hiruplah serbuk itu! Kau akan kembali.” perintahnya
Berlahan Putri Tangguk menghirup serbuk kebaikan yang
diberikan oleh perempuan itu. Baunya seperti ia mengenali. Semakin dihirup
semakin kencang. Bau aring. Seperti bau pipis si Bungsu. Matanya terbuka, benar
saja posisi tidur si Bungsu di atas kepalanya. Ternyata Putri Tangguk bermimpi.
###
Pagi itu, hujan
rintik-rintik. Sisa hujan lebat masih dapat ditemui. Air menggenang di selokan.
Bau lumpur dan hijau daun bercampur jadi satu. Putri Tangguk dan suami sepakat
mengajak anak-anaknya untuk menuai padi di sawah yang seluas tangguk itu.
Sebelum ayam berkokok, Putri Tangguk semangat menyiapkan bekal. Mereka pergi
bersama-sama dengan riang, diiringi kecipak air yang mengenai kakinya.
Bruuk
Putri Tangguk terjatuh di pematang
sawah. Jalanan sangat licin. Bekal yang dibawa berserakan.
“Dasar, jalanan tak tau diuntung!”
umpatan itu hampir saja terucap, buru-buru Putri Tangguk tutup mulutnya dengan
kedua tangan. Ia teringat mimpinya. Lalu, dia tarik nafas dalam-dalam kemudian
menghembuskan berlahan. Dipeganginya pinggang yang terasa sakit.
“Ndak apa-apa, Amak!” Tanya si
Sulung berusaha menolong
“Ndak.”
“Kita serak saja padi yang ada di
pondok ya, Mak? Pengganti pasir, supaya tidak licin.”
“Jangan! Jangan, tidak selayaknya,
padi itu kita makan, mana boleh diserak lalu diinjak. Namanya tidak bersyukur
itu.” Mendengar itu tertegunlah si sulung, Amaknya sudah berubah, Amaknya sudah
pandai berucap kata syukur. Amaknya juga jarang marah-marah. Bahkan menjelang
pagi ia dapati amaknya sedang berdoa. Khusuk.
Abak yang menyaksikan, tetapi tidak
bisa menolong, karena sedang menggendong si bungsu, juga tidak kalah tertegun
melihat istrinya sudah banyak berubah. Mulut yang selalu melengkung ke bawah,
kini berubah sedikit demi sedikit melengkung ke atas. Membuat hatinya penuh
bunga.
Bertambahlah rasa cinta kepada perempuan
yang suka bekerja keras itu. Perempuan yang mendampinginya menggarap sawah
seluas Tangguk. Merawat anak-anaknya dengan suka cita. Tidak dengan hati yang
keras, keluhan apalagi keputusasaan. Akhirnya Putri Tangguk merasa bahagia
selamanya.
* Total kata : 1507 kata tidak termasuk Judul.
* Tulisan ini cerita rakyat dari kabupaten Kerinci yang berjudul "Putri Tangguk", ditulis kembali dengan penceritaan dan ending yang berbeda untuk memenuhi tantangan ODOP 7 pekan ke 4.
Sumber cerita asli
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2009/02/putri-tangguk.html
* Tulisan ini cerita rakyat dari kabupaten Kerinci yang berjudul "Putri Tangguk", ditulis kembali dengan penceritaan dan ending yang berbeda untuk memenuhi tantangan ODOP 7 pekan ke 4.
Sumber cerita asli
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2009/02/putri-tangguk.html
Sumatera memang kaya akan cerita rakyat ya ...
link sumber cerita
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2009/02/putri-tangguk.html
Keren mbk