Ini kisah tentang pak Udin.
Pak Udin yang malang dalam kesakitan menuju umur yang ke tujuh puluhan.
Lihatlah, tubuh ringkih harus
tetap tertopang, demi uang untuk belanjaan. Sebelum, fajar menyingsing, pak
Udin sudah mencuci kain anaknya yang bau pesing dan memasangkan celana tanpa
resleting.
Dengan mengangkasakan harapan
semoga kelak anaknya jadi orang penting. Dihantarkan anaknya pergi sekolah,
tanpa mikir pusing. Sebab biaya dan makan di tanggung si alim.
Tergesa-gesa, ia kembali ke
rumah membuka tokonya. Toko manisan yang hanya tersedia barang dua atau tiga,
sebab modal sudah menjauh lari ke kantong bininya.
Duh, kasian pak Udin
teraniaya, Bini hanya duduk dan main dengan gawainya. Mau pergi, diri sadar
sudah renta. Tetap bertahan, pak Udin haknya dihina.
Sungguh jarang melihatnya
tersenyum manja, kecuali, ketika ditanya “ Hebat kamu Pak! dapat bini muda.”
Baru dia dapat tersenyum meski dipaksa, tidak ada yang tahu, kalau bertemu pak
Udin sebentar saja kesakitan dapat ia sembunyikan seperti hal ubannya.
Tetapi kemiskinan itu kentara,
datanglah bantuan untuk menolong pak Udin yang yang tak berharta, tetapi
sayang, bantuan itupun berpindah pada quota internet bininya
Duh, pak Udin, Kapankah
berbahagia? Berganti nasib seperti yang orang-orang bisa. Bersabarlah!
Barangkali kelak sang bini menyadari perbuatannya
Muara Bungo, Menjelang tengah malam
Posting Komentar
Posting Komentar