Meracuni Hujan
Emisi Karbon dioksida, berjuta ton
di udara. Diendapkan, lalu terbawa angin di permukaan saat pagi, siang, malam
dan menjelang senja. Dihirup seluruh penduduk di desa maupun kota. Terpapar
oleh bayi, anak-anak, orang dewasa hingga lansia.
Duh, bumiku berduka. Lalu, seluruh
isi alam semesta berdoa. Meminta hujan jadi solusi. Sebab, yang berwenang rasa
tak peduli. Dibiarkan sang pelaku mudah untuk datang dan pergi. Mengulang
kesalahan lagi dan lagi. Membakar hutan, ambisi terpenuhi.
Datanglah. . . sang hujan!
Seribu lebih asam terbawa tidak bisa
dipungkiri. Menyatu dengan hutan, danau dan laut. Sedangkan kita menertawakan
presipitasi, atau mungkin kita tidak tahu fenomena ini berbahaya. Tidak kalah
dengan kabut asap sebelumnya. Kecuali, tercatat di media masa, kerugian hanya
berkaitan dengan finansial bandara.
Lihatlah!
Pada daun yang bergelantung. Dimana
kemampuan berasimilasi berkurang. Kini, ia mudah kalah dalam perang. Jamur,
penyakit dan serangga menggerogoti hingga kering kerontang.
Pergilah!
Ke danau, sungai dan laut. Dimana
presipitasi asam bergelayut. Pada bebatuan, granit, tumbuhan dan hewan laut.
Bagi mereka, itu adalah malaikat maut.
Henduslah!
Aroma tanah, unsur bergizipun hampir
punah. Digerus hujan asam. Pepohonan mengeluh. Sebab, sulit menarik mineral ke
daun yang rapuh.
Siapa yang harus disalahkan?
Kita, pihak berwenang atau pembakar
hutan?
Yang jelas, Praktik ini menghasilkan
karbon monoksida, metana, nitrous oksigen. Meracuni hujan, lambat laun mematah
sumber kehidupan. mengurang generasi peradaban. Kelak, bukan hanya bawahanmu,
tetanggamu, orang yang tidak mengenalmupun bisa binasa. Dosamu pun akan dinikmati sampai kesekian
keturunan.
Posting Komentar untuk "Meracuni Hujan"
Komentar yang baik akan kembali ke pemiliknya. Jadi, berkomentarlah yang baik saja.