Krisan Postingan berjudul Pak Udin
Daftar Isi
Malam
itu, seperti biasa setelah berhasil membuat sebuah tulisan aku posting di blog
sebagail laporan ODOP. Aku posting dua tulisan satu untuk laporan hari ini,
satu lagi untuk membayar hutang tulisan di hari Jum’at. Aku merasakan mood
menulisku saat itu menurun. Kain bertumpuk dan pekerjaan IRT yang belum selesai
membuat hasil tulisanku kurang memuaskan. Biasanya aku merasa puas setelah
tulisan berhasil kubuat dan kuposting. Tidak untuk malam itu.
Selain kuposting di blog, tulisanku
yang berjudul Pak Udin juga kuposting di group literasi. Baru beberapa detik
kuposting langsung ada beberapa respon dari teman. 138 like, 3 kali dibagikan
dan tidak sedikit yang membully. Respon pertama:
“Ini jenis tulisan baru ya? Serius
aku nanya? komennya
“Hihihi, salah ya?” jawabku
“Abang kira puisi?”
“Iya kayaknya puisi
mbeling. Tapi entahlah kutulis aja.”
“Oo okeh.” Dari komen ini, masuk
komen dari teman yang lain.
“Paragraf nya cantik ya bang kek
puisi, tertata rapi hehehe!”
“Komen ini mengandung satirekah?”
jawabku. Langsung dibalas dengan emot senyum. Dari komen yang masuk kusimpulkan
bahwa tulisan yang kubuat gagal menemui pembaca. Kurang diterima. Bahkan ada
yang krisan “gak ngerti aku, maaf!” huhuhu tulisanku tidak dimengerti pembaca.
Tetapi dari sekian yang komen, ada
juga beberapa teman yang suka, yang menganggap itu bagus. Dan seorang teman
yang mungkin kasihan denganku, langsung mengadd, menginbox.
“Klo memang mau menulis cermin,
cerita mini, harus diberi tanda baca. Saya coba menggabungkannya dalam beberapa
paragraph. Semoga berkenan” dikirimnya hasil gubahan tulisanku tersebut.
Pak Udin
Ini kisah
tentang pak Udin. Pak Udin yang malang dalam kesakitan menuju umur yang ke
tujuh puluhan.
Lihatlah,
tubuh ringkih harus tetap tertopang, demi uang untuk belanjaan. Sebelum, fajar
menyingsing, pak Udin sudah mencuci kain anaknya yang bau pesing dan
memasangkan celana tanpa resleting.
Dengan
mengangkasakan harapan semoga kelak anaknya jadi orang penting. Dihantarkan
anaknya pergi sekolah, tanpa mikir pusing. Sebab biaya dan makan di tanggung si
alim
Tergesa-gesa,
ia kembali ke rumah membuka tokonya. Toko manisan yang hanya tersedia barang
dua atau tiga, sebab modal sudah menjauh lari ke kantong bininya.
Duh, kasian
pak Udin teraniaya, Bini hanya duduk dan main dengan gawainya. Mau pergi, diri
sadar sudah renta. Tetap bertahan, pak Udin haknya dihina.
Sungguh
jarang melihatnya tersenyum manja, kecuali, ketika ditanya “ Hebat kamu Pak!
dapat bini muda.” Baru dia dapat tersenyum meski dipaksa, tidak ada yang tahu,
kalau bertemu pak Udin sebentar saja kesakitan dapat ia sembunyikan seperti hal
ubannya.
Tetapi
kemiskinan itu kentara, datanglah bantuan untuk menolong pak Udin yang yang tak
berharta, tetapi sayang, bantuan itupun berpindah pada quota internet bininya.
Duh, pak
Udin, Kapankah berbahagia? Berganti nasib seperti yang orang-orang bisa.
Bersabarlah! Barangkali kelak sang bini menyadari perbuatannya.
“Gimana enak
dibaca ‘kan? Katanya
Wah, merasa
beruntung bertemu dengannya, dapat ilmu baru, langsung kuedit postingan itu. Hatiku
masih iba, dibully. Itu berpengaruh dari
caraku mengedit, ada rasa gemetar, sedikit kecewa, wah begitu ya aku? Padahal beberapa
menit sebelumnya aku ingin buat sebuah novel. Boro-boro novel tulisan gini aja
pembaca tidak mudeng.
Selesai mengedit,
aku kembali ke inbox facebook yang menggubah tulisanku tadi. Bermaksud berterima
kasih. Dan ya Allah, tanpa ku sadar sudah menginboxnya dengan imot jempol tangan
menunjuk ke bawah, berarti menyepelekan krisannya.
“ya, Allah
Bang, maaf itu tadi aku salah kirim. Saking gugup terpecet sendiri, tidak
maksud apa-apa, aku bahagia ngedit postingan tadi, sungguh!” pesan itu belum
dibacanya juga. I menit. Lima menit sampai lima belas menit kemudian.
Akupun
semakin lemas, banyak membuat kesalahan hari ini.
salam kenal.. dari grup seberang...
Salam hangat dari Konstantinopel ❤️