Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sebuah Jejak Part II


”Diundur-undur lagi!” kata-kata itu terus terngiang di runggu Nayla. Seolah-olah pengunduran pernikahan adalah sebuah kesalahan besar. Keluarga Falah menghujat, menyalahkan Nayla dan keluarganya. Kata-kata mereka seperti tsunami yang menyapu sebagian rasa simpati dan hanya meninggalkan sesal dan duka yang berkepanjangan. Falah mengganggap Nayla tak mencintainnya, karena kalau orang sayang pasti menuruti keinginannya. Kini Falah memberikan keputusan yang sulit, menikah di rumah mereka.

“Aku harus membela ayah sekarang?” gumam Nayla.  Terlalu dalam duka seandainya Nayla sampai menghianati Ayah. Ini tentu keputusan yang sulit, rasa sayang padanya melebihi jejak yang telah terlewat. Namun, jika harus menyudutkan orang tua, Nayla merasa tidak bisa. 

            [Maaf, Bang, bagaimana kalau kita turuti kata ayahku? Kita menikah selepas aku wisuda. Aku janji. Ini tidak akan lama.]

            [Mentah lagi …. Kamu tidak berusaha mendukungku. Berkorban sedikit saja, toh aku mengajak ke kebaikan?]

            [Tidak mungkin akad tanpa ayahku? Tidak sah.]

            [Ayahmu menghalangi kita menikah, menurut hukum jatuh wali ke wali hakim. Tetap sah.]

Nayla lagi lagi menangis, membaca pesan dari gawainya. Bagaimana bisa seorang dosen yang lulusan perguruan tinggi, picik sekali pikirannya? Nayla mencintai Falah, tetapi tidak mungkin mengubur keinginan ayahnya. Sederhana sekali keinginan ayah hanya mau melihatnya wisuda terlebih dahulu, sebelum menghantarkan ke pelaminan.

Keinginan ayah Nayla masuk akal, betapa dia harus  membiarkan kulitnya berwarna hitam terpapar matahari setiap hari demi bisa menguliahkan Nayla. Betapa dia harus menahan air liurnya melepas keinginan makan semangkok bakso hanya demi bisa mengirimkan Nayla uang untuk makan di kosan. Betapa dia harus menahan malu untuk memberanikan diri berhutang demi SPP Nayla tidak menunggak. Dan ketika selangkah lagi akan wisuda, Nayla menginginkan menikah. Apa kata para tetangga?

[lagian tidak perlu ayahmu tahu pernikahan kita, nanti selepas wisuda kita menikah kembali di kotamu.] 

            Dibiarkan pesan itu hanya terbaca saja, Nayla gusar. Ini kelihatannya konyol. Siapa yang menjamin pernikahan yang berkesan lelucon itu tidak diketahui ayahnya? Siapa yang menjamin Falah benar-benar akan mengulang pernikahan di kotanya? Kalau benar terjadi bukankah ayahnya akan terluka jika mengetahui? 

“Ah …. “ Nayla terlihat melempar gawainya di atas Kasur. Berkali-kali ia istighfar, sambil menahan air yang merembes dari ujung netranya.
###

Falah menggedor-gedor kosan Nayla. Dari luar pintu itu terkunci, tetapi ia yakin Nayla ada di dalam. Ia terduduk di depan pintu, kakinya diselonjorkan. Tangannya sibuk menghubungi Nayla lewat gawainya. Tidak ada jawaban. 


Halamansekolah.com
Halamansekolah.com Seorang pembelajar, yang ketika merasa lelah, ia ingat bahwa hidup ini hanya untuk beribadah. Dan momen itu sebentar saja.

7 komentar untuk "Sebuah Jejak Part II"

Komentar yang baik akan kembali ke pemiliknya. Jadi, berkomentarlah yang baik saja.