”Diundur-undur lagi!” kata-kata itu terus terngiang di runggu Nayla. Seolah-olah
pengunduran pernikahan adalah sebuah kesalahan besar. Keluarga Falah menghujat,
menyalahkan Nayla dan keluarganya. Kata-kata mereka seperti tsunami yang
menyapu sebagian rasa simpati dan hanya meninggalkan sesal dan duka yang
berkepanjangan. Falah mengganggap Nayla tak mencintainnya, karena kalau orang
sayang pasti menuruti keinginannya. Kini Falah memberikan keputusan yang sulit,
menikah di rumah mereka.
“Aku
harus membela ayah sekarang?” gumam Nayla. Terlalu dalam duka seandainya Nayla sampai
menghianati Ayah. Ini tentu keputusan yang sulit, rasa sayang padanya melebihi
jejak yang telah terlewat. Namun, jika harus menyudutkan orang tua, Nayla
merasa tidak bisa.
[Maaf, Bang, bagaimana kalau kita
turuti kata ayahku? Kita menikah selepas aku wisuda. Aku janji. Ini tidak akan
lama.]
[Mentah lagi …. Kamu tidak berusaha
mendukungku. Berkorban sedikit saja, toh aku mengajak ke kebaikan?]
[Tidak mungkin akad tanpa ayahku?
Tidak sah.]
[Ayahmu menghalangi kita menikah,
menurut hukum jatuh wali ke wali hakim. Tetap sah.]
Nayla
lagi lagi menangis, membaca pesan dari gawainya. Bagaimana bisa seorang dosen
yang lulusan perguruan tinggi, picik sekali pikirannya? Nayla mencintai Falah,
tetapi tidak mungkin mengubur keinginan ayahnya. Sederhana sekali keinginan ayah
hanya mau melihatnya wisuda terlebih dahulu, sebelum menghantarkan ke
pelaminan.
Keinginan
ayah Nayla masuk akal, betapa dia harus membiarkan kulitnya berwarna hitam terpapar
matahari setiap hari demi bisa menguliahkan Nayla. Betapa dia harus menahan air
liurnya melepas keinginan makan semangkok bakso hanya demi bisa mengirimkan
Nayla uang untuk makan di kosan. Betapa dia harus menahan malu untuk
memberanikan diri berhutang demi SPP Nayla tidak menunggak. Dan ketika
selangkah lagi akan wisuda, Nayla menginginkan menikah. Apa kata para tetangga?
[lagian
tidak perlu ayahmu tahu pernikahan kita, nanti selepas wisuda kita menikah
kembali di kotamu.]
Dibiarkan pesan itu hanya terbaca
saja, Nayla gusar. Ini kelihatannya konyol. Siapa yang menjamin pernikahan yang
berkesan lelucon itu tidak diketahui ayahnya? Siapa yang menjamin Falah
benar-benar akan mengulang pernikahan di kotanya? Kalau benar terjadi bukankah
ayahnya akan terluka jika mengetahui?
“Ah
…. “ Nayla terlihat melempar gawainya di atas Kasur. Berkali-kali ia istighfar,
sambil menahan air yang merembes dari ujung netranya.
###
Falah
menggedor-gedor kosan Nayla. Dari luar pintu itu terkunci, tetapi ia yakin
Nayla ada di dalam. Ia terduduk di depan pintu, kakinya diselonjorkan.
Tangannya sibuk menghubungi Nayla lewat gawainya. Tidak ada jawaban.
Apa yang terjadi dengan Nayla?
BalasHapusKasihan Nayla
BalasHapusLebih baik berkorban untuk sang ayah.
BalasHapusFalah... Nama ituuu aku jd ingat dulu. Lanjut kak
BalasHapusnext
BalasHapusDitunggu kelanjutannya kak
BalasHapusKasihan Nayla, lanjutkan.. Penasaran dengan kelanjutan ceritanya mba
BalasHapus