Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Setawar Sungai Batanghari



“Alhamdullillah” ucapku sembari mencari kejujuran di mata suamiku. Sebenarnya aku tak perlu sanksi apa dia bohong atau tidak. Karena dia suamiku.

“ Bahkan Romlah ingin kamu tinggal di Jambi agar ia ikut menjagamu” ucapnya

Romlah adalah istri pertama suamiku. Dulu seperti orang tuaku ia juga menentang pernikahan kami.

“Sudah Abang bilang lambat laun Romlah akan menerima Adekkan?” jawabnya sambil memelukku erat. Mempererat keyakinan yang masih kesana kemari.

Aku tersenyum. Alhamdullillah.

Tetapi tetap saja sebagian masyarakat memandang ku dengan tatapan aneh. orang tua dan istri pertama bang Raihan sudah merestui. Ini kehidupan kami. Dan kami tidak menyalahi hukum. Berbuat dosa atau sesuatu yang menjijikan. Meski aku terkadang masih rendah diri mendengar omongan orang-orang “ ngejar hartanya”. Astaqfirrullah. Pertanyaan yang memojokan juga pernah hadir dari Ibuku “lalu kalau tidak karena harta karena apa?

                Cinta. Ya aku mencintainya. Terlepas ia telah beristri atau masih sendiri. Terlepas ia berada atau biasa saja. Aku mencintainya. Bagiku Bang Raihan adalah sosok yang ideal. Ilmu agama berpunya. Pengamalannya sedikit mendekati sempurna, hanya ia memiliki kesalahan yang membuat cinta ini terpupuk dulunya.

“Lemahnya kandungan Romlah membuat rahimnya diseterilkan, kalau tidak nyawanya terancam”.

Ya curhatannya membuatku lebih simpati. Membuat lebih merasa dibutuhkan dan sebagainya. Ditambah lagi pertemuan kami yang inten. Bang Raihan adalah atasanku di Distrik Pengolahan kertas Tanjung Jabung Barat. Itulah mungkin kesalahannya, sehingga kami saling jatuh cinta

***
Mbak Romlah benar-benar telah menerimaku bahkan diluar dugaan perlengkapan bayi sudah ia belikan. Subhanaallah, begitu indah aku dipersaudarakan dengannya.  Akhirnya aku menuruti kata suamiku untuk tinggal bersamanya. Selain aku bisa bertemu suamiku setiap hari, tentu ini buat hati suamiku tentram. Karena kami akur dan bisa saling menerima. Hmmm kami melakukan apapun berdua, belanja, ke kajian. Kecuali memasak. Aku tidak bisa mencium bau masakan. Mual dan ujungnya muntah.


Malam ini aku ingin sekali makan jagung bakar. Jagung bakar  Ancol, di tepian Sungai Batanghari. Kami bertiga pergi. Bang Raihan memang sangat romantis, ia sendiri yang memesankan jagung bakar untuk kami.

“Jum, tau tidak cerita tentang Sungai Batanghari ?”

“Belum Mbak, seperti apa?”

“Katanya yang meneguk Sungai Batanghari ini bakal kerasan lho tinggal di Jambi”

“Sungguh!, rasanya apa Mbak?”

“Tawar, ciciplah agar kamu kerasan tinggal serumah dengan Mbak”. 

Aku menganguk. Lalu kujulurkan tanganku untuk mengambil air dari sungai Batanghari. Tiba-tiba seluruh bagian Batanghari tertuang dimulutku, kurasakan sesak, gelap dan pekat. Setelah rasa-rasanya ada yang mendorong  keras tubuhku kedalam sungai.

***
 Maafkan aku mbak jika telah membuat hidupmu setawar air sungai Batanghari.

Halamansekolah.com
Halamansekolah.com Seorang pembelajar, yang ketika merasa lelah, ia ingat bahwa hidup ini hanya untuk beribadah. Dan momen itu sebentar saja.

Posting Komentar untuk "Setawar Sungai Batanghari"