Sepembaringan di ICU
Sepembaringan di ICU
Malam itu, sekitar pukul 10.00,
aku terburu-buru dibawa ke tempat penginapan termahal yang pernah aku singgahi.
Rumah sakit. Sudah beberapa bulan ini perut bagian kanan bawah terasa sakit. Kali
ini aku tidak bisa menahan lagi, sakitnya melemahkan tulang yang menopang
daging di seluruh tubuhku.
Memasuki
lorong-lorong rumah sakit, sesekali berpapasan dengan wajah-wajah kuyu, letih namun
ada terlihat harapan untuk keluarga mereka yang ditunggu. Beberapa waktu,
setelah menyelesaikan administrasi, dorongan membawaku tepat di depan pintu
yang bertuliskan ICU. Hawa dingin menjalar keseluruh tubuh, alat-alat dipasangkan
ke tubuhku kemudian terkait langsung dengan monitor ICU. Deeer. Duuum. Deeer. Duuum.
Suara monitor ICU saling bersahutan satu sama lain.
Ada empat
pasien yang terbaring sama sepertiku. Persis disampingku, seorang bayi mungil,
dia kelihatan tidur sangat nyenyak, hanya sesekali terlihat jari tangannya
bergerak. Setelah bayi itu, ada seorang nenek yang dadanya kelihatan naik
turun. Di samping itu, ada seorang bapak yang masih muda, mukanya pucat,
kelihatannya jantung kesulitan memompa darah keseluruh tubuhnya.
Aku
dapat mendengar beberapa perawat intensif sedang berbincang dengan dokter
anastesi. Aku bisa mendengar mereka tetapi mereka tidak bisa mendengarkanku. Itu
mungkin ruangan ini dinamakn ICU. I see you but you can’t see me.
Malam
semakin merangkak pergi, hawa dingin membuatku menggigil. Aku takut. Aku takut
tidak dapat mengatasi rasa sakit ini. Alat-alat yang dipasang ditubuhku
menyakitkan, lebih sakit dari rasa sakit di perutku sebelumnya.
###
Seseorang
yang ku kenal menghampiri ruanganku, menyemprotkan alkohol di tangannya lalu
dipersilahkan masuk menemui dokter.
“Pak,
nanti tolong siapkan 3 orang laki-laki untuk memindahkan ibu, nanti jam 9 kita
scanner ya!”
“Baik,
Dok! Istri saya bisa sembuhkan, Dok!”
“Insyaallah,
Pak! Kita berusaha semaksimal mungkin. Setelah kita identifikasi penyakitnya,
baru nanti kita lakukan tindakan.”
Kulihat,
suamiku hanya memandangiku sebentar, lalu pergi keluar ruangan. Hei, sayang aku
ingin engkau pegang jemariku, bisikkan do’a-do’a untuk mengurangi rasa sakitku.
Aku mendengarnya. Aku akan mendengarnya. Tetapi sayang, engkau tidak mendengar.
Air mataku tiba-tiba keluar dari ujung mata. Aku tidak bisa menghapusnya. Sekedar
meminta tolongpun aku tak bisa.
Beberapa
menit kemudian, datang ibuku memberikan pampers kepada perawat. Ingin aku
memintamu ibu, memasang pampers itu sebagaimana engkau memasangnya ketika aku
kecil. Tetapi suara ini tercekat. Ibupun berlalu. Aku dalam kesendirian lagi.
###
Sayup-sayup
kudengar suara orang berbisik.
“Sebul kupinge!” hembus
telinganya.
Ibu yang disuruh menghembuskan
di telinga itu, tidak mampu berdiri. Kakinya lunglai. Menagis pilu. Akhirnya sang
nenek menghembuskan udara ditelinga bayi mungil itu. “Hei!” Aku teriak. Bukan dihembus
telinganya tetapi ditalqin. Dibacakan laa ilaha illallahu. Hei, ayolah! Ajaran
siapa itu menghembuskan udara ditelinga? Tetapi sayang suaraku lagi-lagi tidak
terdengar. Terlihat di monitor ICU garis vertikal itu sudah lurus. Selamat jalan,
Nak! Kini engkau tidak sakit lagi.
Aku bergidik ngeri, seperti menunggu
antrian akan dieksekusi. Aku bisa merasa bahwa tubuh ini tidak mampu lagi membawa
roh, dia akan segera berpisah. Tidak hari ini, barangkali besok. Kengerian itu
menghilangkan rasa sakit, menghilangkan rasa rindu ingin bertemu keluarga. Berulang
kali aku beristighfar, memohon ampunan Allah. Aku siap berpisah dengan jasad.
Aku pasti bertemu Allah dengan keadaan husnul Khotimah, kubawa pikiranku untuk
berbaik sangka.
Setiba aku dari ruangan scanner,
teman sepembaringan di ICU, hanya tinggal satu. Kabarnya bapak muda yang sempat
sadar dan meminta makan itu sudah menghadap sang Kholiq. Selang beberapa jam kemudian,
seorang nenek itu pun dalam keadaan kritis. Perawat mempersilahkan keluarganya
untuk masuk.
“Bu, Oneh ikhlas, Bu! Kalau ibu
mau pergi, pergilah, Bu! Maafin Oneh ya, Bu!” diciumnya punggung tangan ibunya
dengan takzim. Nenek yang terbaring itu, tangannya merespon. Ada gerakan kecil
di jemarinya. Kemudian dari sudut mata, mengalirlah butir-butir bening. Anak
yang dipanggil Oneh itu menggusap air mata sang ibu. Dan mencium keningnya.
“Asyhadu an la ilaha illa
allah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.” Anak laki-laki dari sang nenek
membisikkan telingganya dengan lembut dan berlahan. Menyadari kurang yakin apa
yang ia bacakan, lalu ia buru-buru membuka google. Bacaan talqin. Oh, benar
saja yang dibacanya kurang tepat. Lalu, dengan pelan ia ulangi lagi menalqin
sang nenek.
“Laa ilaha illallah.”
“Laa ilaha illallah.”
Gigi tidak utuh sang nenek terlihat
mencekam antara yang atas dan bagian bawah. Barangkali menahan rasa sakit yang
sangat, ketika roh terlepas dari jasad. Niiiiiiiiiiiiiiit. Garis di monitor
itupun sudah lurus. Sang nenek, ditemani isak tangis yang membuat hati
terhenyuh.
Posting Komentar untuk "Sepembaringan di ICU"
Komentar yang baik akan kembali ke pemiliknya. Jadi, berkomentarlah yang baik saja.