Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Santunan Yang Kurang Santun


Para tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan. Ibu-ibu organisasi sudah mengambil posisi duduk paling depan, menyusul barisan kursi anak-anak yatim kampung Rindu. Selanjutnya bapak-bapak dan ibu-ibu warga kampung Rindu.

Sembari menunggu bapak Camat, ibu-ibu organisasi menghabiskan waktu dengan mengobrol satu sama lain. Dari trending topik yang sedang viral sampai binatang peliharaan mereka.

“Si kecil suka sekali kucing anggora kemarin, Ran.” Cerita seorang ibu yang dipanggil Lina. Dia baru saja membeli anakan kucing anggora seharga lima juta.

“Syukurlah, susah gak, ngerawatnya, Lin?”

“Gak kok, setiap pagi ku kasih madu dan telur ayam kampung. Makannya beli aja di pet shop. Papanya sayang juga dengan si kucing. Tadi habis belanja makanannya aja habis lima ratus ribuan.”

“Kayak dapat mainan baru ya, Lin?” 

Sedang asyik mengobrol, bapak camat sudah datang dan siap memberi pidatonya. Bapak didampingi istri naik ke atas panggung. Dengan antusias bapak camat menghimbau warga agar melalui momen 10 muharam ini dapat lebih menyantuni anak yatim, menyayangi mereka, mengasihi mereka. Tetapi kalau bapak-bapak baiknya melalui istrinya, sebab takut salah paham jika memberi santunan sendiri. 

Acara selanjutnya, adalah acara inti yaitu pemberian santunan kepada anak-anak yatim. Sudah berbaris sekitar 20 anak yatim di atas panggung. Beberapa dari mereka terlihat tertunduk, tidak berani menatap ke depan. Sebagain lagi dari mereka mengusap air yang tiba-tiba menggenang di mata. Badannya bergetar, bergoyang. Tidak mampu menangkap apa yang diberi bapak camat karena mata mulai berkabut tebal. Dapat diraba jika yang di tanggannya adalah amplop. Bertambah bergetarlah punggung mereka, ketika bapak camat memeluk tubuh kecil itu. 

Barangkali mereka teringat tentang ayah masing-masing yang sudah berpulang. Menyimpan kerinduan yang besar untuk pelukan seorang ayah. Kerinduan yang sengaja mereka simpan dan tak akan pernah tau sampai bila untuk bisa diungkapkan.

Barangkali, yang paling berat bagi mereka adalah kehilangan sosok yang memimpin dan memberi naungan di kehidupan yang keras ini. Siapa yang mengarahkan mereka? Mengambil keputusan? Memenuhi kebutuhanya? Sekolahnya? Pakaiannya? Makan dan minum? Ah, itu sangatlah berat untuk di pikul.

###
Setelah bapak camat, ibu-ibu organisasi terlihat mulai berdiri berantrian memberi santunan. Berjalan bak pragawati dengan baju seragam warna merah marun, sepatu dan jilbab terlihat matching dengan bajunya. Tak ketinggalan tas bermerek dijinjing tangan kiri. 

“Ran, kamu ada tukar duit?” Tanya bu Lina sedikit berbisik

“Nggak Lin, untuk apa?”

“Aduh, ya untuk santunan, aku lupa nukar tadi.”

“Jangan malu-maluin lah.” 

“Aduh. . . gimana ya Ran?”

“Duit merah aja!”

“Sebanyak itu anak yatim?”

“Terus?”

“Bentar ya aku tukar bentar.” Sambil menarik Rana untuk menggantikan posisi antriannya. Rana yang di tinggal menarik nafas berat.

###
Cekrek!

Sekali lagi cekrek!

Ibu lina berhasil memberikan selembaran uang bergambar rumah limas kepada anak-anak yatim. Eh, tepatnya berhasil mengabadikan dalam handphonenya.




Halamansekolah.com
Halamansekolah.com Seorang pembelajar, yang ketika merasa lelah, ia ingat bahwa hidup ini hanya untuk beribadah. Dan momen itu sebentar saja.

3 komentar untuk "Santunan Yang Kurang Santun"

  1. Tipe milenial y kk. Apa pun diabadikan. Kadang khawatir jd riya. Anyway, tulisannya keren
    ..

    BalasHapus
  2. iya dek, begitu zamannya sepertinya. yang baca juga keren. terimakasih sudah mampir

    BalasHapus
  3. "selembaran uang bergambar rumah limas kepada anak-anak yatim.."

    ~~hmm.., saya berusaha mengingat, wkwkwk

    BalasHapus

Komentar yang baik akan kembali ke pemiliknya. Jadi, berkomentarlah yang baik saja.