Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Salah Ibu, Kalau Kita Miskin? Bagian Kesatu


                Sampah plastik terlihat berserakan dimana-mana. Jalanan macet. Ada banyak orang berkumpul. Suasana riuh. Eits, tapi bukan sedang rusuh. Kota Muara Bungo sedang mengadakan karnaval pembangunan. Pesertanya tahun ini kelihatan membludak. Menurut jadwal yang beredar akan start mulai jam 7 pagi dan berakhir hingga jam 7 malam. Menimbang peserta karnaval yang terlalu banyak.

                Adit adalah salah satu peserta karnaval dari tingkat sekolah dasar. Dia dan teman-temannya sebagai anggota drumband. Mereka berkumpul di garis start sejak dedaunan dibasahi embun. Peserta yang terlalu banyak memicu mereka untuk saling berdesak-desakan dan terjadilah dorongan kecil. 

                Melihat itu, ibu Adit tidak tega melepaskannya hanya bersama guru-guru. Lalu, Sri, ibu Adit berniat mengikuti Adit hingga ke garis finish. Tapi Adit kelihatan ragu, ia takut teman-temannya mengenal ibunya lalu mengejek. 

                “ Bu, Adit bisa sendiri!” pintanya ragu dengan sang ibu

                Sang ibu kelihatan berfikir sejenak, bagaimana kalau Adit kehausan? Kelelahan? Terkena dorongan? Terhimpit? Tapi bukan itu saja alasannya. Sungguh dia ingin melihat Adit berjalan, melengak-lenggok menunjukan kemampuannya berdrumband. Dia ingin seperti ibu-ibu yang lain mengikutinya. Dan dalam hati berkata “hai itu yang bermain pianika itu, Adit anakku!”

                Tetapi keinginan itu urung dia lakukan, setelah Adit sedikit memaksa untuk menggantarkannya sampai batas dimana dia berdiri sekarang.

                “Bu, Adit malu, bagaimana kalau teman-teman mengejek Adit. Ibu disini aja ya! Ya!” pinta Adit dengan mata mulai memerah basah.

                Malu? Benarkah Adit malu dengan penampilan Sri. Dia sudah berusaha maksimal tampil pagi itu. Memakai celana panjang dan baju kaos terbaik yang dimilikinya. Di tambah jilbab warna marun oleh-oleh umroh bu RT. Meskipun kurang selaras tapi yang ia kenakan adalah yang terbaru dan terbaik.

                Demi melihat anaknya tidak bersedih. Ia mengalah pasrah melepas keinginannya. “ baiklah, Adit! nanti kalau ada apa-apa kasih tau ibu guru Adit ya. Ntar pulangnya Ibu tunggu di sebelah kantor satpol PP.” 

                Aditpun terlihat berlari kecil, hilang dalam kerumunan peserta karnaval. Sementara sang ibu terlihat menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya bersamaan dengan butiran bening yang jatuh diujung matanya. 

###
                Sri terlihat ragu, sebelum akhirannya mengeluarkan karung-karung dari tasnya yang berwarna hitam. Ia memunguti plastik, dan botol-botol bekas diantara kerumunan penonton karnaval. Melihat sampah itu, Sri seperti melihat berlian yang berserakan. Lumayan pikirnya. Hari ini dia bisa mengumpulkan rongsokan sekuat yang ia bisa. 

                Sementara, dari kejauhan Adit mengamati apa yang dilakukan ibunya. Ia merasa kasihan dengan ibunya. Tubuh yang kurus dan ringkih itu harus menggendong rongsokan. Beratnya beban harus membuat tubuh itu merunduk ketika berjalan. Berjalan diantara krumunan, sesekali terucap kata maaf karena bersinggungan dengan penonton.

                Duh, ibu! Salah ibu, kalau kita miskin? Tidak! Ibu sudah bekerja keras, sangat keras. Tetapi tetap saja belum bisa memenuhi kebutuhan. Harga plastik 700 per kg. Sementara ibu hanya bekerja sendiri. Sesekali Adit membantu sepulang sekolah. Itu kalau tidak latihan drumband. Ayahnya? Entahlah. Ibunya tidak pernah cerita. Adit enggan menanyakannya takut membuat ibunya bersedih.

                Hei, Adit! Bukankah dia sudah membuat ibunya bersedih? Tidak membiarkan ibunya mengikutinya? Bukankah Adit malu dengan teman-temanya? Seperti ibunya Aditpun mengeluarkan gerimis dimatanya.

###
                Rombongan barisan Adit terlihat mencapai garis finish pukul tiga sore. Meskipun kaki susah untuk berjalan. Tetapi Adit dan teman-teman masih semangat. Sebelum bubar anak-anak mendapatkan jatah makan siang yang kesorean. Dengan lahapnya mereka terlihat menyantap nasi. Tapi tidak dengan Adit, nasi itu baru dibukanya sebelum akhirnya diikat kembali. Lauknya ayam bumbu dan sayur-sayuran. Makanan mewah yang jarang Adit temui. Biasanya Adit lebih sering menyantap nasi yang ditabur garam halus. Atau kalau lebih beruntung dia akan makan dengan jelantah atau sepotong tempe.

                Adit celingukan mencari ibunya. Tidak sabar dia ingin mengajak ibunya makan makanan yang lezat itu. Ditemuinya ibu duduk bersandar dibawah pohon dekat kantor satpol PP, dalam kondisi tertidur.

“Bu, ini Adit!” dengan berlahan Adit membangunkan ibunya. Barangkali ibunya terlalu lelah bisa tertidur di kerumunan dan suara yang ramai.

“Oh, Dit. Sudah lama?”

“Baru Bu.”

“Ayo makan, Bu! Adit ada bawa nasi.” Dibukanya nasi yang sudah tidak sabar untuk disantap.

“ Adit aja yang makan ibu sudah.” Jawab ibu, sambil meneguk air liurnya dan berkali-kali minum.

Adit memberikan suapan kepada ibunya. Ibunya kelihatan ragu. Lalu tersenyum. “enak ya, Dit!” mereka makan berdua dengan lahapnya.

###
                Adit dan ibunya tidak sadar, ketika asyik makan. Mereka sedang diamati oleh seseorang. Akhirnya seorang ibu dan anaknya itu menghampirinya. Dari penampilannya mereka dari orang yang berada. 

                “Masyaallah, ini ibu Adit?” mengulurkan kedua tangannya dengan ramah dan sopan. Adit dan ibu Nampak ragu dan saling berpandangan. Dengan sedikit kikuk disambutlah tangan yang halus dan putih itu.

                “ Wah, saya salut dengan ibu, ketika para ibu dengan susah payah menyuruh anaknya shalat. Ibu sudah berhasil mendidik Adit untuk mandiri , mengerti kebutuhan shalat. Bahkan saat berbaris dalam karnaval Adit tidak meninggalkan shalat. “ tuturnya

                Oh, rupanya ibu itu berpapasan dengan Adit ketika shalat di Masjid Raya. Ibu itu adalah mamanya revan temen Adit. Adit memang memberanikan diri ijin kepada ibu guru untuk shalat Dzuhur ketika barisan mereka tepat berhenti di depan Masid Raya. Lalu dengan berlari kencang menyusul rombongan.

                Ibu Adit memang selalu memperlihatkan dan mengajak Adit untuk shalat dari kecil. Jadi ketika umur sebelas seperti sekarang Adit sudah terbiasa shalat. Dipuji seperti itu Adit sangatlah bangga dengan ibunya. Rasa malunya hilang. Toh revan tidak mengejeknya. Kenapa mesti malu kalau ibunya seorang pemulung, tetapi sholehah dan baik pikirnya. Ibunya saja tidak malu memunggut sampah diantara orang-orang yang berpakaian rapi. Diantara orang-orang asyik menonton pertunjukan. Demi siapa? Demi Adit tentunya.

Bu, Adit janji tidak akan malu lagi punya ibu seorang pemulung!

               
                               
               
               
               

Halamansekolah.com
Halamansekolah.com Seorang pembelajar, yang ketika merasa lelah, ia ingat bahwa hidup ini hanya untuk beribadah. Dan momen itu sebentar saja.

4 komentar untuk "Salah Ibu, Kalau Kita Miskin? Bagian Kesatu"

  1. Keren mb ceritanya. Mg Adit - adit lain pun py kesadaran yg sama. Tq mb ^^

    BalasHapus
  2. Walah... Kakanya sprtinya udh mahir dalam tulis menulis.. mohon share ilmunya kak. Hehhe jangan lupa kunjungi blogku juga ka Sanguinis07.blogspot.com

    BalasHapus
  3. Aku nangis mbk bacanya .... 😭😭😭😭😭

    BalasHapus
  4. Huhuhu gerimis aku baca ceritanya.... makasih mba sudah mengingatkan lewat cerita ini....

    BalasHapus

Komentar yang baik akan kembali ke pemiliknya. Jadi, berkomentarlah yang baik saja.