Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Raina


Raina

“Maafkan aku"

“Untuk apa? Tanyaku menerawang. 

Seperti aku diapun kehabisan kata-kata. Kami dalam pikiran masing-masing. Aku berusaha menepis rasa luka lama. Sudah satu tahun lebih, dia meninggalkanku. Meninggalkan jejak yang menggores tajam. Melukai hati orangtuaku. Tanpa alasan. Tanpa basa-basi. Selama itu juga aku sibuk mengoreksi diri, tentang apa salahku sebenarnya?

“Aku. . .?” katanya ragu

“Sekarang aku bisa plong, melihatmu lebih baik.” lanjutnya

Lebih baik katanya. Ya, aku berusaha lebih baik. Aku berusaha untuk HIDUP lebih normal, setelah berteman dengan banyak air mata. Setelah memaksakan diri untuk bangkit. Ku bawa rasa itu untuk mendekatkan diri pada Allah.

“Aku percaya, kamu adalah perempuan hebat.”

“Hmm!” ku Tarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya berlahan-lahan, mengeluarkan beban di dada yang tiba-tiba muncul.

“Sudahlah, yang sudah biarlah. . . tidak ada yang perlu dimaafkan.” 

Benarkah aku sudah memaafkanya. Hei, Raina, kau bukan malaikat, yang berhati lembut, pemaaf dan baik hati. Kau tak benar-benar memaafkannya. Kau masih mengingat bagaimana dia meninggalkan mu? Bagaimana dia membungkus semua kenangan dan menyerahkan kembali kepada orang tuamu? Tanpa kau tau kenapa kau harus dikembalikan hanya selang satu bulan tepat setelah hari pernikahan. Ya hanya satu bulan. 

“Raina.. . ?”

Tidak sengaja mataku menatapnya. Duh! Ada yang berbeda. Mata itu. Mata itu sekarang cekung tak berbinar. Dan. . . lihatlah tubuh yang pernah jadi imamku itu. Kurus. Sangat kurus. Apa yang terjadi setelah melepasku? Apakah dia selalu memikirkanku? Menyesal? Masih mengharapku kembali? Sehingga dia melupakan cara makan dan minum? Ah, Raina jangan GR. Aku tepis cepat-cepat pikiran itu. Apa gunanya? 

“Sudahlah…! Maaf, aku harus pergi.” Kataku kemudian. Aku bersyukur custumer service memanggil nomor antrianku, sehingga tidak berlama-lama duduk disebelahnya.
***
Pertemuan di bank menarik rindu yang ku paksa tenggelam. Pokok cinta yang pernah ku tebang pun segera berkembang. Nampaknya cinta ini tak benar-benar padam. Apalagi pesan WhatsAppnya menggungkapkan, kalau dia juga masih sayang.

“Wahai Allah, yang membolak-balikkan hati
Tolong jaga hati ini, untuk tetap rapi
Agar dia tidak tau, aku menyimpan asa untuk memilikinya kembali
Bersama, merajut cinta sampai terpisahkan oleh yang bernama mati
Sungguh, langkahku seperti di bui
Wajah ayah dan bunda, sendu menatapku dalam mimpi sampai menjelang pagi
Jejak tajam yang menggores dalam ingatan, seperti sudah abadi
Disini, di hati rasa maaf tidak mampu kami beri”

Kata-kata itu ku tulis di media sosial, sebelum akhirnya ku hapus kembali. Supaya tak perlu menjawab pesan WhatsAppnya. Cukup melihat wall facebook, dia akan tahu. Tapi aku sungkan, tidak pantas rasanya kegalauan terumbar. Membalasnya, aku paksakan untuk enggan. Padahal jemariku tak sabar untuk berbalas-balasan. Berbalasan pesan bagai candu yang mengundang lagi dan lagi. Di sisi lain bagai racun, yang menghentikan nafas terasa sakit sekali.

“Maaf, tidak bisa.” Balasku akhirnya

“Kenapa?”

“Tidak ada yang perlu dibicarakan”

“T O L O N G, R A I N! Aku ingin meminta maaf!”

“Sudah ku maafkan”

“Kembalilah!”

“Maksudnya…?”

“Jadilah Rainku!”

“Tidak bisa!”

“Ku tahu kau masih sendiri. Kau masih mencintaiku, Kan???”

“CINTA??? Sekarang kau bicara cinta. Kemana saja selama ini? Kalau cinta kenapa kau pergi tanpa aku tahu kesalahanku? Kau biarkan aku jadi bulan-bulanan orang. Sebulan menikah lalu di talak. Tidak kau rasakan bagaimana setiap mata memandangku, dengan senyum sinis sambil berbisik-bisik? Kau tidak memikirkan perasaan kedua orang tuaku? Dan taukah kau rasanya susah payah berdiri menata kehidupan yang runtuh?

“Raina. . . . aku bisa jelaskan, kita ketemu ya?”

“TIDAK!”

“Tolong, Rain! Kita mulai dari awal lagi!”

“MULAI DARI AWAL? UNTUK APA? MENAMBAH LUKA? SEDANG KITA SEPERTI MENONTON FILM USANG, YANG BAKAL TAU EPISODE SELANJUTANNYA”



Halamansekolah.com
Halamansekolah.com Seorang pembelajar, yang ketika merasa lelah, ia ingat bahwa hidup ini hanya untuk beribadah. Dan momen itu sebentar saja.

Posting Komentar untuk "Raina"