Cerpen 1001 Kisah Tentang Ibu (1) Kecipak Sungai Kering
Daftar Isi
Kecipak Sungai Kering
Aroma matahari
menguap, memanggang sebagian rerumputan, perdu-perdu kecil dan ilalang.
Sementara, Jalanan merekah, batu-batuan kecil lepas ke sana ke mari,
menerbangkan debu. Sementara aku dan teman- teman asyik bermain dengan kecipak
sungai kering. Mencari ikan-ikan kecil dan kalau beruntung akan menemukan belut
yang besar.
Ku seka keringat yang bercampur
dengan bau amis lumpur. Tapi tidak mengurangi kebahagiaan kami. Senang sekali
rasanya. Sesekali Kami tertawa terbahak-bahak. Menertawakan kekonyolan kami.
Tiba-tiba dari arah selatan, ibu
dengan menjinjing daster panjangnya berteriak hebat.
“Teruskan!”
“Dasar anak
nakal, bukannya menolong di rumah, malah keluyuran!”
“Hayoo,
teruskan!”
“Kalau tidak
ku benamkan di rawa sekalian.”
Kata- kata ibu seperti petasan cina,
entah apa lagi yang dia ucapkan. Aku dan teman-teman langsung berhamburan.
Bruuk.
Aku terjatuh, betambah bengislah
ibuku mendapati seluruh pakaian dan mukaku berlumpur.
“Durhaka dengan ibumu ini!”
“Jelek-jelek, ini ibumu yang
melahirkanmu, tapi kata-katanya tidak kau dengar?”
“Hah!”
“Mau jadi apa?”
“Siapa yang
mau nyuci baju kotormu!”
Aku dan ibu berjalan beriringan.
Beruntung jatuhku tidak terlalu keras. Tidak ada cidera yang berarti. Ku Tarik
nafas dalam-dalam lalu hembuskan berlahan. Mengurangi rasa sakit yang mendera. Tepatnya
sakit bukan karena jatuh, tetapi tarikan tangan ibu di telingaku. Tarikan
tangan ibu yang lumayan kuat, terasa sangat perih, takkala aku berusaha
menghindarinya.
“Astaghfirullah.. .” seharusnya aku
beristigfar berkali-kali, lalu meminta maaf kepada ibu. Tapi keseruan bersama
teman-teman, selalu mengodaku untuk melakukan lagi dan lagi. Endingnya lagi-
lagi sama. Ibu dengan bengisnya memarahiku. Dan aku tidak merasa jera.
###
Itulah dulu aku. Aku kecil yang
melakukan kesalahan berulang- ulang. Sekarang , ketika memori itu terputar
kembali, ada rasa sesak di hati. Kenapa aku begitu tega menghiraukan perkataan
ibu. Dalam diam aku selalu berdo’a semoga ibu selalu sehat, diberikan kesabaran
yang besar. Dan perkataannya yang tajam dulu tidak menjadi kenyataan. Aku yakin
itu terucap tidak dari hati.
Himpitan hidup, ekonomi yang
mencekik, pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai dan perut yang lapar
membuat seorang ibu mudah marah. Perkataan yang tak patut diucapkan pun
terlontar. Duh, itupun aku yang memancingnya.
Sekarang,
ketika aku menjadi seorang ibu dari dua orang anak, mendapati anak-anak
bertingkah nakal. Aku langsung teringat kenangan bersama ibu. Allah bayar tuntas
di dunia ini. Apa yang kuperbuat di masa kecil terbayar tuntas oleh anak-anakku
sekarang.
“Lalu, apakah
aku juga marah-marah?”
“apakah aku
juga punya taring yang siap menerkam mereka?”
Awalnya iya,
tetapi aku berusaha untuk tetap waras. Toh lebih nakal aku kecil daripada
mereka. Toh sekarang alat rumah tangga elektrik sudah lengkap yang siap
membantuku, sehingga bisa punya banyak waktu untuk anak, dibandingkan dengan
ibuku dulu.
Masa lalu
bersamamu, insya allah membentuk ku baik di masa sekarang.
.
Ohya, main2 & follow ke blog saya yang masih belajar: www.Arsilogi.id
Main ke blog ku jangan lupa yaa heee
Tulisannya bagus kak 😊